PENYAKIT PURU ATAU PATEK
A. Latar Belakang
Ada dua penyakit kulit yang perlu diwaspadai karena
sering diabaikan yaitu Kusta dan Frambusia. Kusta dan frambusia merupakan
penyakit kulit menular dan menahun yang mudah disembuhkan apabila ditemukan
secara dini. Bila ditemukan sedini mungkin dan diobati dengan baik maka dapat
mencegah penderita dari kecacatan tetap dan sembuh dalam waktu 6 bulan. Oleh
karena itu, peran serta masyarakat sangat penting dalam menemukan penderita dan
melaporkan ke Puskesmas untuk dilakukan pemeriksaan dan pengobatan.
Didunia, pada awal tahun 1950-an diperkirakan banyak
kasus frambusia terjadi di Afrika, Asia, Amerika Selatan dan Tengah serta
Kepulauan Pasifik, sebanyak 25 – 150 juta penderita. Setelah WHO memprakarsai
kampanye pemberantasan frambusia dalam kurun waktu tahun 1954 – 1963, para
peneliti menemukan terjadinya penurunan yang drastik dari jumlah penderita
penyakit ini. Namun kemudian kasus frambusia kembali muncul akibat kurangnya
fasilitas kesehatan public serta pengobatan yang tidak adekuat. Dewasa ini,
diperkirakan sebanyak 100 juta anak-anak beresiko terkena frambusia.
Masih adakah frambusia di Indonesia? Jawabannya masih ada, tersebar di daerah kantong-kantong kemiskinan. Pada tahun 1990, 21 provinsi dari 31 provinsi di Indonesia melaporkan adanya penderita frambusia. Ini tidak berarti bahwa provinsi yang tidak melaporkan adanya frambusia di wilayah mereka tidak ada frambusia, hal ini sangat tergantung pada kualitas kegiatan surveilans frambusia di provinsi tersebut.
Pada tahun 1997 hanya enam provinsi yang melaporkan adanya frambusia dan pada saat krisis di tahun 1998 dan 1999 tidak ada laporan sama sekali dari semua provinsi. Tahun 2000 sampai dengan tahun 2004, 8-11 provinsi setiap tahun melaporkan adanya frambusia. Pemerintah pada Pelita III (pertengahan pemerintahan Orde Baru) menetapkan bahwa frambusia sudah harus dapat dieliminasi dengan sistem TCPS (Treponematosis Control Project Simplified) dan “Crash Program Pemberantasan Penyakit Frambusia (CP3F)”. Namun, oleh karena metode, organisasi, manajemen pemberantasan yang kurang tepat dan pembiayaan yang kurang atau daerah tersebut selama ini tidak tersentuh oleh pemerataan pembangunan. Paling tepat kalau dikatakan bahwa masih adanya frambusia di suatu wilayah sebagai resultan dari upaya pemberantasan yang kurang memadai dan tidak tersentuhnya daerah tersebut dengan pembangunan sarana dan prasarana wilayah
Masih adakah frambusia di Indonesia? Jawabannya masih ada, tersebar di daerah kantong-kantong kemiskinan. Pada tahun 1990, 21 provinsi dari 31 provinsi di Indonesia melaporkan adanya penderita frambusia. Ini tidak berarti bahwa provinsi yang tidak melaporkan adanya frambusia di wilayah mereka tidak ada frambusia, hal ini sangat tergantung pada kualitas kegiatan surveilans frambusia di provinsi tersebut.
Pada tahun 1997 hanya enam provinsi yang melaporkan adanya frambusia dan pada saat krisis di tahun 1998 dan 1999 tidak ada laporan sama sekali dari semua provinsi. Tahun 2000 sampai dengan tahun 2004, 8-11 provinsi setiap tahun melaporkan adanya frambusia. Pemerintah pada Pelita III (pertengahan pemerintahan Orde Baru) menetapkan bahwa frambusia sudah harus dapat dieliminasi dengan sistem TCPS (Treponematosis Control Project Simplified) dan “Crash Program Pemberantasan Penyakit Frambusia (CP3F)”. Namun, oleh karena metode, organisasi, manajemen pemberantasan yang kurang tepat dan pembiayaan yang kurang atau daerah tersebut selama ini tidak tersentuh oleh pemerataan pembangunan. Paling tepat kalau dikatakan bahwa masih adanya frambusia di suatu wilayah sebagai resultan dari upaya pemberantasan yang kurang memadai dan tidak tersentuhnya daerah tersebut dengan pembangunan sarana dan prasarana wilayah
B. Sejarah Frambusia/Puru/Patek
Frambusia
merupakan penyakit infeksi kulit yang disebabkan oleh Treptonema pallidum
ssp.pertenue yang memiliki 3 stadium dalam proses manifestasi ulkus seperti
ulkus atau granuloma (mother yaw), lesi non-destruktif yang dini dan destruktif
atau adanya infeksi lanjut pada kulit, tulang dan perios. Penyakit ini adalah
penyakit kulit menular yang dapat berpindah dari orang sakit frambusia kepada
orang sehat dengan luka terbuka atau cedera/ trauma (Greenwood, 1994).
Penyakit
Frambusia (yaws) pertama kali ditemukan oleh Castellani, pada tahun 1905 yang
berasal dari bakteri besar (spirocheta) bentuk spiral dan motil dari famili
(spirochaetaceae) dari ordo spirochaetales yang terdiri dari 3 genus yang
phatogen pada manusia (treponema, borelia dan leptospira). Spirohaeta mempunyai
ciri yang sama dengan pallidum yaitu panjang, langsing”helically coiled”,
bentuk spiral seperti pembuka botol dan basil gram negatif. Treponema memiliki
kulit luar yang disebut glikosaminoglikan, di dalam kulit memiliki
peptidoglikan yang berperan mempertahankan integritas struktur organisme
(Jawetz, et al, 2005).
Genus
treponema terdiri dari Treponema pallidum subspesies pallidum yang menyebabkan
sifilis, Treponema pallidum subspecies perteneu yang menyebabkan frambusia
(yaws/puru/pian), treponema pallidum subspecies endemicum yang menyebabkan
sifilis (disebut bejel) dan treponema carateum yang menyebabkan pinta (Jawetz,
et al, 2005; Greenwood, et al 1994; Noordhoek, et al, 1990).
C.
Definisi dan Penyebab Penyakit Puru atau
Patek
Framboesia
atau Patek ( kamus kedokteran ). Penyakit framboesia atau patek adalah suatu
penyakit kronis, relaps (berulang). Dalam bahasa Inggris disebut Yaws, ada juga
yang menyebut Frambesia tropica dan dalam bahasa Jawa disebut Pathek. Di zaman
dulu penyakit ini amat populer karena penderitanya sangat mudah ditemukan di
kalangan penduduk. Di Jawa saking populernya telah masuk dalam khasanah bahasa
Jawa dengan istilah “ora Patheken”. Yaws, Frambosia, Patek
adalah penyakit langka karena infeksi pada daerah tropis yang biasanya
menyerang daerah kulit, tulang dan sendi manusia yang disebabkan oleh bakteri
spirochete Treponema pallidum pertenue. Penyakit lain yang disebabkan oleh
Treponemal yaitu: bejel (Treponema pallidum endemicum), pinta (Treponema
pallidum carateum), dan sifilis (Treponema pallidum pallidum).
Patek dapat ditemukan di daerah tropis lembab basah seperti di Amerika Selatan,
Afrika, Asia dan Oseania. Kampanye pengobatan massal pada tahun 1950 di seluruh
dunia mengurangi prevalensi dari 50-100 juta penderita menjadi kurang dari 2
juta, namun selama tahun 1970-an terjadi wabah di Asia Tenggara dan telah ada
kasus-kasus sporadis berlanjut di Amerika Selatan. Tidak jelas berapa banyak
orang di seluruh dunia terinfeksi saat ini.
1.1 Infeksi
Yaws tahap awal
Penyakit ini ditularkan
melalui kontak kulit-ke-kulit, dengan infeksi lesi (luka) bakteri masuk ke
tubuh melalui iritasi (yang sudah ada seblumnya) pada kulit, gigitan dan
cakaran. Dalam waktu sembilan puluh hari (tetapi biasanya kurang dari satu
bulan) dari infeksi yang tidak menyakitkan tapi khas, ‘ibu yaws’ muncul.
Ini merupakan nodul (bintil) menyakitkan yang membesar dan kemudian
menjadi berkutil. Kadang-kadang, anakannya (bintil) pun bermunculan
secara bersamaan.
Tahap utama ini terjadi dalam waktu enam
bulan. Tahap kedua terjadi dalam hitungan bulan sampai bertahun-tahun kemudian,
dan ditandai dengan munculnya lesi-lesi di kulit yang meluas areanya di tubuh
manusia, termasuk ‘kepiting patek’ di telapak tangan dan kaki dengan
desquamation (pengelupasan lapisan luar kulit). Lesi sekunder ini sering
memborok. Dan kemudian menjadi sangat berinfeksi, tapi sembuh setelah enam
bulan kemudian atau lebih. Sekitar sepuluh persen orang kemudian terus
mengembangkan penyakit tersier dalam lima sampai sepuluh tahun (sebelum lesi
tersier, lesi sekunder dapat datang dan pergi). Lesi tersier dicirikan oleh
kerusakan yang luas pada tulang, sendi-sendi dan jaringan lunak, yang dapat
meliputi penghancuran luas pada tulang dan tulang rawan hidung
(rhinopharyngitis mutilans atau ‘gangosa’).
D. Cara Penularan Penyakit Puru atau Patek
Penularan
penyakit frambusia dapat terjadi secara langsung maupun tidak langsung
(Depkes,2005), yaitu :
1) Penularan secara langsung (direct contact)
Penularan penyakit frambusia banyak
terjadi secara langsung dari penderita ke orang lain. Hal ini dapat terjadi
jika jejas dengan gejala menular (mengandung Treponema pertenue) yang terdapat
pada kulit seorang penderita bersentuhan dengan kulit orang lain yang ada
lukanya. Penularan mungkin juga terjadi dalam persentuhan antara jejas dengan
gejala menular dengan selaput lendir.
2) Penularan secara tidak langsung (indirect contact)
. Penularan
secara tidak langsung mungkin dapat terjadi dengan perantaraan benda atau
serangga, tetapi hal ini sangat jarang. Dalam persentuhan antara jejas dengan
gejala menular dengan kulit (selaput lendir) yang luka, Treponema pertenue yang
terdapat pada jejas itu masuk ke dalam kulit melalui luka tersebut. Terjadinya
infeksi yang diakibatkan oleh masuknya Treponema partenue dapat mengalami 2
kemungkinan:
a) Infeksi effective.
a) Infeksi effective.
Infeksi
ini terjadi jika Treponema pertenue yang masuk ke dalam kulit berkembang biak,
menyebar di dalam tubuh dan menimbulkan gejala-gejala penyakit. Infeksi
effective dapat terjadi jika Treponema pertenue yang masuk ke dalam kulit cukup
virulen dan cukup banyaknya dan orang yang mendapat infeksi tidak kebal
terhadap penyakit frambusia.
b) Infeksi ineffective.
b) Infeksi ineffective.
Infeksi ini terjadi jika Treponema pertenue
yang masuk ke dalam kulit tidak dapat berkembang biak dan kemudian mati tanpa
dapat menimbulkan gejala-gejala penyakit. Infeksi effective dapat terjadi jika
Treponema pertenue yang masuk ke dalam kulit tidak cukup virulen dan tidak
cukup banyaknya dan orang yang mendapat infeksi mempunyai kekebalan terhadap
penyakit frambusia (Depkes, 2005). Penularan penyakit frambusia pada umumnya
terjadi secara langsung sedangkan penularan secara tidak langsung sangat jarang
terjadi (FKUI, 1988)
E. Epidomiologi
Frambusia terutama menyerang anak-anak yang
tinggal di daerah tropis di pedesaan yang panas, lembab, ditemukan pada
anak-anak umur antara 2–15 tahun lebih sering pada laki-laki. Prevalensi
frambusia secara global menurun drastis setelah dilakukan kampanye pengobatan
dengan penisilin secara masal pada tahun 1950-an dan 1960-an sehingga menekan
peningkatan kasus frambusia, namun kasus frambusia mulai ditemukan lagi di
sebagian besar daerah khatulistiwa Afrika Barat dengan penyebaran infeksi tetap
berfokus di daerah Amerika Latin, Kepulauan Karibia, India dan Thailand Asia
Tenggara dan Kepulauan Pasifik Selatan, Papua New Guinea, kasus frambusia
selalu berubah sesuai dengan perubahan iklim. Di daerah endemik frambusia
prevalensi infeksi meningkat selama musim hujan. Menurut WHO (2006) bahwa kasus
frambusia di Indonesia pada tahun 1949 meliputi NAD, Jambi, Bengkulu, Sumatera
Selatan, Jawa (Jawa Timur) dan sebagian besar Wilayah Timur Indonesia yang
meliputi Nusa Tenggara, Sulawesi, Maluku dan Papua.
Penurunan prevalensi Frambusia secara bermakna terjadi pada tahun 1985 sampai pada tahun 1995 dengan prevalensi rate frambusia turun secara dramatis dari 22,1 (2210 per 10.000 penduduk) menjadi kurang dari 1 per 10.000 penduduk di daerah kabupaten dan propinsi, strategi pencapaian target secara nasional Departemen Kesehatan yaitu jumlah frambusia kurang dari 0,1 kasus per 100.000 penduduk di Wilayah Jawa dan Sumatera, lebih dari 1 kasus per 100.000 penduduk di Wilayah Indonesia Timur (Papua, Maluku, NTT dan Sulawesi). Untuk menjangkau daerah-daerah kantong frambusia yang jumlahnya tersebar di beberapa Propinsi dan beberapa Kabupaten di Indonesia maka dilakukan survey daerah kantong frambusia yang dimulai tahun 2000. Propinsi yang masih mempunyai banyak kantong frambusia diprioritaskan untuk dilakukan sero survei, yaitu NAD, Jambi, Jawa Timur, Banten, Sulawesi Tenggara dan NTT. Hal ini di pengaruhi oleh 3 faktor yang penting, yaitu faktor host (manusia), agent (vector) dan environtment (lingkungan) termasuk di dalam faktor host yaitu pengetahuan, sikap dan perilaku perorangan. (Depkes, 2004).
Penurunan prevalensi Frambusia secara bermakna terjadi pada tahun 1985 sampai pada tahun 1995 dengan prevalensi rate frambusia turun secara dramatis dari 22,1 (2210 per 10.000 penduduk) menjadi kurang dari 1 per 10.000 penduduk di daerah kabupaten dan propinsi, strategi pencapaian target secara nasional Departemen Kesehatan yaitu jumlah frambusia kurang dari 0,1 kasus per 100.000 penduduk di Wilayah Jawa dan Sumatera, lebih dari 1 kasus per 100.000 penduduk di Wilayah Indonesia Timur (Papua, Maluku, NTT dan Sulawesi). Untuk menjangkau daerah-daerah kantong frambusia yang jumlahnya tersebar di beberapa Propinsi dan beberapa Kabupaten di Indonesia maka dilakukan survey daerah kantong frambusia yang dimulai tahun 2000. Propinsi yang masih mempunyai banyak kantong frambusia diprioritaskan untuk dilakukan sero survei, yaitu NAD, Jambi, Jawa Timur, Banten, Sulawesi Tenggara dan NTT. Hal ini di pengaruhi oleh 3 faktor yang penting, yaitu faktor host (manusia), agent (vector) dan environtment (lingkungan) termasuk di dalam faktor host yaitu pengetahuan, sikap dan perilaku perorangan. (Depkes, 2004).
1. Agent
Penyebab penyakit frambusia adalahTreponema pallidum,
subspesies pertenue dari spirochaeta. Framboesia berdasarkan karakteristik
Agen :
a. Infektivitas dibuktikan dengan kemampuan sang
Agen untuk berkembang biak di dalam jaringan penjamu.
b. Patogenesitas dibuktikan dengan perubahan
fisik tubuh yaitu terbentuknya benjolan-benjolan kecil di kulit yang tidak
sakit dengan permukaan basah tanpa nanah.
c. Virulensi penyakit ini bisa bersifat kronik
apabila tidak diobati, dan akan menyerang dan merusak kulit, otot serta
persendian sehingga menjadi cacat seumur hidup. Pada 10% kasus frambusia,
tanda-tanda stadium lanjut ditandai dengan lesi yang merusak susunan kulit yang
juga mengenai otot dan persendian.
d. Toksisitas yaitu dibuktikan dengan kemampuan
Agen untuk merusak jaringan kulit dalam tubuh penjamu.
e. Invasitas dibuktikan dengan dapat menularnya
penyakit antara penjamu yang satu dengan yang lainnya.
f. Antigenisitas yaitu sebelum menimbulkan
gejala awal Agen mampu merusak antibody yang ada di dalam sang penjamu.
2. Host
Manusia
dan mungkin Primata kelas tinggi. Sangat berpeluang tertular penyakit
ini. Ditemukan pada anak-anak umur antara 2–15 tahun lebih sering pada
laki-laki.
F. Pathogenesis
Noordhoek, et al, (1990) mengatakan bahwa
terdapat infeksi alamiah yang disebabkan oleh Treponema pallidum terhadap inang
(manusia) ditularkan melalui hubungan seksual dan infeksi lesi langsung pada
kulit atau membran selaput lendir pada genetalia. Pada 10–20 kasus lesi primer
merupakan intrarektal, perianal atau oral atau di seluruh anggota tubuh dan
dapat menembus membran selaput lendir atau masuk melalui jaringan epidermis
yang rusak.
Spirocheta secara lokal berkembang biak pada
daerah pintu masuk dan beberapa menyebar di dekat nodul getah bening mungkin
mencapai aliran darah. Dua hingga 10 minggu setelah infeksi, papul berkembang
di daerah infeksi dan memecah belah membentuk ulcer yang bersih dan keras
(chancre). Inflamasi ditandai dengan limfosit dan plasma sel yang membuat ruang
berupa maculapapular merah di seluruh tubuh, termasuk tangan, kaki dan papul
yang lembab, pucat (condylomas) di daerah anogenital, axila dan mulut.
(Djuanda, et al., 2007)
Lesi primer dan sekunder ini sangat infeksius
karena mengandung banyak spirocheta. Lesi yang infeksius mungkin akan kambuh dalam
waktu 3–5 tahun. Infeksi sifilis tetap subklinis dan pasien akan melewati tahap
primer dan sekunder tanpa gejala atau tanda-tanda berkembangnya lesi tersier.
Pada pasien dengan infeksi laten penyakit akan berkembang ketahap tersier
ditandai dengan perkembangan lesi granulommatous (gummas) pada kulit, tulang
dan hati; lesi cardiovaskuler (aortitis, aortic aneurysm, aortic value
insuffiency). lesi tertier treponema jarang ditemua dan respon jaringan yang
meningkat ditandai dengan adanya hypersensitivitas organisme. Treponema yang
menahum dan atau laten terkadang infeksi dimata atau sistem saraf pusat
(Noordhoek, et al, 1990; Bahmer, et al, 1990)
Pada subspecies perteneu infeksi terjadi
akibat adanya kontak berulang antar individu dalam waktu tertentu sehingga
memudahkan treponema untuk berkembang biak, infeksi bakteri treponema
ssp.parteneu berbentuk spirochetes tersebut ada dijaringan epidermis mudah
menular di jaringan kulit lecet atau trauma terbuka. Klasifikasi Frambusia
terdiri dari 4 (empat) tahap meliputi pertama (primary stage) berbentuk bekas
untuk berkembangnya bakteri frambusia; secondary stage terjadi lesi infeksi
bakteri treponema pada kulit; latent stage bakteri relaps atau gejala hampir
tidak ada; tertiary stage luka dijaringan kulit sampai tulang kelihatan,
(Smith, 2006 ; Greenwood, et al, 1994 ; Bahmer, et al 1990 ; Jawetz, et al.,
2005).
G. Gejala Klinis
Penyakit fambusia tidak menyerang jantung,
pembuluh darah, otak dan saraf dan tidak ada frambusia kongenital, namun daerah
endemis pada musim hujan penderita baru akan bertambah. Gejala klinis terdiri
atas 3 stadium pertama pada tungkai bawah sebagai tempat yang mudah trauma;
masa tunas berkisar antara 3-6 minggu. Kelainan papul yang eritematosa, menjadi
besar berupa ulkus dengan dasar papilomatosa. Jaringan granulasi banyak
mengeluarkan serum bercampur darah yang mengandung treponema. Serum mengering
menjadi krusta berwarna kuning-kehijauan, pembesaran kelenjar limfe regional
konsistensi keras dan tidak nyeri. Stadium satu dapat menetap beberapa bulan
kemudian sembuh sendiri dengan meninggalkan sikatriks yang cekung dan atrofik.
Stadium kedua; dapat timbul setelah stadium pertama sembuh atau sering terjadi
tumpang tindih antara stadium satu dan stadium dua (overlapping). (Djuanda, et
al., 2007).
Erupsi yang generalisata timbul pada 3 – 12
bulan setelah penyakit berlangsung. Kelainannya berkelompok, tempat predileksi
di sekeliling lubang badan, muka dan lipatan-lipatan tubuh. Papul-papul yang
milliar menjadi lentikular dapat tersusun korimbiform, arsinar atau numular.
Kelainan ini membasah, berkrusta dan banyak mengandung treponema. Pada telapak
kaki dapat terjadi keratoderma jalannya seperti kepiting karena nyeri tulang
ekstremitas atas dan bawah, spina ventosa pada jari anak-anak, polidaktilitis,
sinar rontgen tampak rarefaction pada korteks dan destruksi pada perios,
(Jawetz, et al., 2005).
Pada stadium lanjut sifatnya destruktif
menyerang kulit, tulang dan persendian meliputi nodus dan guma, keratoderma
pada telapak kaki dan tangan, gangosa dan goundou; menurut Djuanda, et al.,
(2007) pada fase lanjut ini beberapa istilah pada frambusia stadium lanjut :
nodus dapat melunak, pecah menjadi ulkus, dapat sembuh di tengah luka dan
meluas ke perifer; guma umumnya terdapat pada tungkai. Mulai dengan nodus yang
tidak nyeri, keras, dapat digerakan, kemudian melunak, memecah dan meninggalkan
ulkus yang curam (punched out), dapat mendalam sampai ke tulang atau sendi
mengakibatkan ankilosis dan deformitas; gangosa: mutilasi pada fosa nasalis,
palatum mole hingga membentuk sebuah lubang suaranya khas sengau; goundou :
eksositosis tulang hidung dan di sekitarnya, pada sebelah kanan–kiri batang
hidung yang membesar; bisa disertai demam; tulang : berupa periostitis dan
osteitis pada tibia, ulna, metatarsal dan metakarpal, tibia berbentuk seperti
pedang, kiste di tulang mengakibatkan fraktur spontan.
H. Pemeriksaan Diagnostik
Menurut Noordhoek, et al, (1990) diagnosa
dapat ditegakkan dengan pemeriksaan mikroskop lapangan gelap atau pemeriksaan
mikroskopik langsung FA (Flourescent Antibody) dari eksudat yang berasal dari
lesi primer atau sekunder. Test serologis nontrepanomal untuk sifilis misalnya
VDRL (venereal disease research laboratory), RPR (rapid plasma reagin) reaktif
pada stadium awal penyakit menjadi non reaktif setelah beberapa tahun kemudian,
walaupun tanpa terapi yang spesifik, dalam beberapa kasus penyakit ini
memberikan hasil yang terus reaktif pada titer rendah seumur hidup. Test
serologis trepanomal, misalnya FTA-ABS (fluorescent trepanomal antibody – absorbed),
MHA-TP (microhemag-glutination assay for antibody to t. pallidum) biasanya
tetap reaktif seumur hidup
I. Pengobatan
Menurut Departemen Kesehatan RI, (2004) dan
(2007) bahwa pilihan pengobatan utama adalah benzatin penicilin dengan dosis
yang sama, alternatif pengobatan dapat dilakukan dengan pemberian tetrasiklin,
doxicicline dan eritromisin. Anjuran pengobatan secara epidemiologi untuk
frambusia adalah sebagai berikut :
1)
Bila sero positif >50% atau prevalensi
penderita di suatu desa/ dusun >5% maka seluruh penduduk diberikan
pengobatan.
2)
Bila sero positif 10%-50% atau prevalensi
penderita di suatu desa 2%-5% maka penderita, kontak, dan seluruh usia 15 tahun
atau kurang diberikan pengobatan
3)
Bila sero positif kurang 10% atau prevalensi
penderita di suatu desa/ dusun < 2% maka penderita, kontak serumah dan
kontak erat diberikan pengobatan 4) Untuk anak sekolah setiap penemuan kasus
dilakukan pengobatan seluruh murid dalam kelas yang sama. Dosis dan cara
pengobatan sbb: Tabel 1. Dosis dan cara pengobatan frambusia Pilihan utama Umur
Nama obat Dosis Pemberian Lama pemberian < 10 thn Benz.penisilin 600.000 IU
IM Dosis Tunggal ≥ 10 tahun Benz.penisilin 1.200.000 IU IM Dosis Tunggal
Alternatif < 8 tahun Eritromisin 30mg/kgBB bagi 4 dosis Oral 15 hari 8-15
tahun Tetra atau erit. 250mg,4x1 hri Oral 15 hari >8 tahun Doxiciclin
2-5mg/kgBB bagi 4 dosis Oral 15 hari
Dewasa 100mg 2x1 hari Oral 15 hari
Keterangan : Tetrasiklin atau eritromisin diberikan kepada penderita frambusia yang alergi terhadap penicillin. Tetrasiklin tidak diberikan kepada ibu hamil, ibu menyusui atau anak dibawah umur 8 tahun
(Sumber: Pedoman Eradikasi Frambusia, Departemen Kesehatan RI, Dirjen Pengendalian dan Penyehatan Lingkungan, 2007).
Dewasa 100mg 2x1 hari Oral 15 hari
Keterangan : Tetrasiklin atau eritromisin diberikan kepada penderita frambusia yang alergi terhadap penicillin. Tetrasiklin tidak diberikan kepada ibu hamil, ibu menyusui atau anak dibawah umur 8 tahun
(Sumber: Pedoman Eradikasi Frambusia, Departemen Kesehatan RI, Dirjen Pengendalian dan Penyehatan Lingkungan, 2007).
J. Pencegahan
Walaupun penyebab infeksi sulit dibedakan dengan
teknik yang ada pada saat ini. Begitu pula perbedaan gejala-gejala klinis dari
penyakit tersebut sulit ditemukan. Dengan demikian membedakan penyakit
treponematosisi satu sama lainnya hanya didasarkan pada gambaran epidemiologis
dan faktor linkungan saja. Hal-hal yang diuraikan pada butir-butir berikut ini
dapat dipergunakan untuk manangani penyakit frambusia dan penyakit golongan
treponematosis non venereal lainnya.
a) Pencegahan tingkat pertama (Primary
Prevention)
Sasaran
pencegahan tingkat pertama dapat ditujukan pada factor penyebab, lingkungan
serta factor penjamu.
1) Sasaran yang ditujukan pada faktor penyebab
yang bertujuan untuk mengurangi penyebab atau menurunkan pengaruh penyebab
serendah mungkin dengan usaha antara lain : desinfeksi, pasteurisasi,
sterilisasi, yang bertujuan untuk menghilangkan mikro-organisme penyebab
penyakit, penyemprotan/insektisida dalam rangka menurunkan dan menghilangkan
sumebr penularan maupun memutuskan rantai penularan, disamping karantina dan
isolasi yang juga dalam rangka memutuskan rantai penularan. Selain itu usaha
untuk mengurangi atau menghilangkan sumber penularan dapat dilakukan melalui
pengobatan penderita serta pemusnahan sumber yang ada, serta mengurangi atau
menghindari perilaku yang dapat meningkatkan resiko perorangan dan masyarakat.
2) Mengatasi atau modifikasi lingkungan melalui
perbaikan lingkungan fisik seperti peningkatan air bersih, sanitasi lingkungan
dan perumahan serta bentuk pemukiman lainnya, perbaikan dan peningkatan lingkungan
biologis seperti pemberantasan serangga dan binatang pengerat, serta
peningkatan lingkungan sosial seperti kepadatan rumah tangga, hubungan antar
individu dan kehidupan sosial masayarakat.
3) Meningkatkan daya tahan pejamu yang meliputi
perbaikan status gizi, status kesehatan umum dan kualitas hidup penduduk,
pemberian imunisasi serta berbagai bentuk pencegahan khusus lainnya,
peningkatan status psikologis, persiapan perkawinan serta usaha menghindari
pengaruh factor keturunan, dan peningkatan ketahanan fisik melalui peningkatan
kualitas gizi, serta olahraga kesehatan.
b) Pencegahan tingkat kedua (Secondary
Prevention)
Sasaran pencegahan ini terutama ditujukan kepada
mereka yang menderita atau dianggap menderita (suspect) atau yang terancam akan
menderita (masa tunas). Adapun tujuan usaha pencegahan tingkat kedua ini yang
meliputi diagnosis dini dan pengobatan yang tepat agar dapat dicegah meluasnya
penyakit atau untuk mencegah timbulnya wabah, serta untuk segera mencegah
proses penyakit untuk lebih lanjut serta mencegah terjadinya akibat samping
atau komplikasi.
1) Pencarian penderita secara dini dan aktif
melalui peningkatan usaha surveillance penyakit tertentu, pemeriksaan berjala
serta pemeriksaan kelompok tertentu ( calon pegawai, ABRI, Mahasiswa, dan lain
sebagainya), penyaringan (screening) untuk penyakit tertentu secara umum dalam
masyarakat, serta pengobatan dan perawatan yang efektif.
2) Pemberian chemoprophylaxis yang terutama bagi
mereka yang dicurigai berada pada proses prepatogenesis Framboesia.
c) Pencegahan tingkat ketiga (Tertiary
Prevention)
Sasaran pencegahan tingkat ketiga adalah penderita
penyakit Framboesia dengan tujuan mencegah jangan sampai cacat atau kelainan
permanen, mencegah bertambah parahnya penyakit tersebut atau mencegah kematian
akibat penyakit tersebut. Berbagai usaha dalam mencegah proses penyakit lebih
lanjut agar jangan terjadi komplikasi dan lain sebagainya.
Pada tingkat ini juga dilakukan usaha rehabilitasi
untuk mencegah terjadinya akibat samping dari penyembuhan penyakit Framboesia.
Rehabilitasi adalah usaha pengembalian funsi fisik, psikologis, sosial
seoptimal mungkin yang meliputi rehabilitasi fisik atau medis, rehabilitasi
mental atau psikologis serta rehabilitasi sosial.
K.
Pengawasan Penderita, Kontak dan Lingkungan
Masyarakat (tahap Patogenesis).
1. Laporan kepada instansi kesehatan yang
berwenang: Di daerah endemis tertentu dibeberapa negara tidak sebagai penyakit
yang harus dilaporkan, kelas 3B (lihat laporan tentang penularan penyakit)
membedakan treponematosis venereal & non venereal dengan memberikan laporan
yang tepat untuk setiap jenis, adalah hal yang penting untuk dilakukkan dalam
upaya evaluasi terhadap kampanye pemberantasan di masyarakat dan penting untuk
konsolidasi penanggulangan pada periode selanjutnya.
2.
Isolasi: Tidak perlu; hindari kontak dengan
luka dan hindari kontaminasi lingkungan sampai luka sembuh.
3.
Disinfeksi serentak: bersihkan barang-barang yang terkontaminasi dengan
discharge dan buanglah discharge sesuai dengan prosedur.
3.
Karantina: Tidak perlu.
4.
Imunisasi terhadap kontak: Tidak perlu.
5.
Investigasi terhadap kontak dan sumber infeksi: Seluruh orang yang kontak
dengan penderita harus diberikan pengobatan, bagi yang tidak memperlihatkan
gejala aktif diperlakukan sebagai penderita laten. Pada daerah dengan
prevalensi rendah, obati semua penderita dengan gejala aktif dan semua
anak-anak serta setiap orang yang kontak dengan sumber infeksi.
6.
Pengobatan spesifik: Penisilin, untuk penderita 10 tahun ke atas dengan gejala
aktif dan terhadap kontak, diberikan injeksi dosis tunggal benzathine penicillin
G (Bicillin) 1,2 juta unit IM; 0,6 juta unit untuk penderita usia dibawah 10
tahun.
Upaya Penanggulan Wabah
(Tahap Pasca Patogenesis)
Dengan melakukan program pengobatan aktif untuk masyarakat di daerah dengan prevalensi tinggi. Tujuan utama dari program ini adalah:
a) Pemeriksaan terhadap sebagian besar penduduk
dengan survei lapangan.
b) Pengobatan terhadap kasus aktif yang
diperluas pada keluarga dan kelompok
masyarakat sekitarnya berdasarkan bukti adanya
prevalensi frambusia aktif.
c) Melakukan survei berkala dengan tenggang
waktu antara 1 – 3 tahun sebagai bagian
integral dari pelayanan kesehatan
masyarakat pedesaan disuatu negara.
Implikasi bencana: Tidak pernah terjadi penularan pada situasi bencana
tetapi potensi
ini tetap ada pada kelompok pengungsi didaerah endemis tanpa fasilitas sanitasi yang
memadai.
ini tetap ada pada kelompok pengungsi didaerah endemis tanpa fasilitas sanitasi yang
memadai.
Tindakan Internasional:
Untuk
melindungi suatu negara dari risiko timbulnya
reinfeksi yang sedang melakukan program pengobatan massal aktif untuk masyarakat,
maka negara tetangga di dekat daerah endemis harus melakukan penelitian untuk
menemukan cara penanganan yang cocok untuk penyakit frambusia. Terhadap
penderita yang pindah melewati perbatasan negara, perlu dilakukan pengawasan manfaatkan pusat kerjasama WHO.
reinfeksi yang sedang melakukan program pengobatan massal aktif untuk masyarakat,
maka negara tetangga di dekat daerah endemis harus melakukan penelitian untuk
menemukan cara penanganan yang cocok untuk penyakit frambusia. Terhadap
penderita yang pindah melewati perbatasan negara, perlu dilakukan pengawasan manfaatkan pusat kerjasama WHO.
L.
Program Pemberantasan
Strategi
Pemberantasan framboesia terdiri dari 4 hal pokok yaitu:
1.
Skrining terhadap
anak sekolah dan masyarakat usia di bawah 15 tahun untuk menemukan
penderita.
2. Memberikan pengobatan yang akurat kepada
penderita di unit pelayanan kesehatan (UPK)
dan
dilakukan pencarian kontak.
3. Penyuluhan kepada masyarakat tentang perilaku
hidup bersih dan sehat (PHBS).
4. Perbaikan kebersihan perorangan melalui
penyediaan sarana dan prasarana air bersih serta
penyediaan
sabun untuk mandi.
5. Pengobatan framboesia dilakukan dengan
memberikan antibiotika. Antibiotika golongan
penicillin merupakan obat pilihan
pertama. Bila penderita alergi terhadap penicillin, dapat
diberikan antibiotika tetrasiklin,
eritromisin atau doksisiklin
DAFTAR
PUSTAKA
Kipas, Pisang. 2010. Yaws, Frambosia, patek. 2010. Tersedia : (http://pisangkipas.wordpress.com/2010/03/21/yaws-frambosia-patek/)
(17 Maret 2012)
Solution, Heroes. 2010. Penyakit Frambusia/Patek/Yaws. Tersedia : (http://herodessolutiontheogeu.blogspot.com/2010/11/penyakit-frambusia-patek-yaws.html)
(17 Maret 2011)
Syahreza, Lissa.
2011. Frambosia. Tersedia : (http://lissasyahreza.blogspot.com/2011/03/frambusia-latar-belakang-ada-dua.html)
(17 Maret 2012)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar