Sabtu, 31 Maret 2012

PERANAN BAHASA DALAM PENGEMBANGAN ILMU PENGETAHUAN DAN TEKNOLOGI




BAB I
PENDAHULUAN

1.1  Latar Belakang
Agaknya pemahaman, penghayatan, dan penghargaan kita terhadap bahasa nasional dan negara sendiri belum tumbuh secara maksimal dan proporsional. Padahal, tak henti-hentinya pemerintah menganjurkan untuk menggunakan bahasa Indonesia dengan kaidah yang baik dan benar. Setelah kaidah bahasa Indonesia oleh beberapa oknum pejabat Orde Baru dirusak dengan merubah akhiran "kan" menjadi "ken". Bahasa Indonesia memegang peranan penting dalam membangun manusia Indonesia seutuhnya dan pembangunan sumber daya manusia yang relevan dengan perkembangan zaman. Karena itu, peningkatan pendidikan bahasa Indonesia di sekolah-sekolah perlu dilakukan melalui peningkatan kemampuan akademik para pengajarnya.
Fungsi mata pelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia adalah sebagai sarana pengembangan penalaran. Pembelajaran bahasa Indonesia selain untuk meningkatkan keterampilan berbahasa, juga untuk meningkatkan kemampuan berpikir, bernalar, dan kemampuan memperluas wawasan. Peningkatan fungsi bahasa Indonesia sebagai sarana keilmuan perlu terus dilakukan sejalan dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Seirama dengan ini, peningkatan mutu pengajaran bahasa Indonesia di sekolah perlu terus dilakukan. Dalam kedudukannya sebagai bahasa nasional, bahasa Indonesia sudah berusia 79 tahun. Jika dianalogikan dengan kehidupan manusia, dalam rentang usia tersebut idealnya sudah mampu mencapai tingkat kematangan dan kesempurnaan, sebab sudah banyak merasakan lika-liku dan pahit-getirnya perjalanan sejarah.
Untuk menggetarkan gaung penggunaan bahasa Indonesia dengan baik dan benar, pemerintah telah menempuh politik kebahasaan, dengan menetapkan bulan Oktober sebagai Bulan Bahasa. Namun, seiring dengan bertambahnya usia, bahasa Indonesia justru dihadang banyak masalah. Pertanyaan bernada pesimis justru bermunculan. Mampukah bahasa Indonesia menjadi bahasa budaya dan bahasa Iptek yang berwibawa dan punya prestise tersendiri di tengah-tengah dahsyatnya arus globalisasi? Mampukah bahasa Indonesia bersikap luwes dan terbuka dalam mengikuti derap peradaban yang terus gencar menawarkan perubahan dan dinamika? Masih setia dan banggakah para penuturnya dalam menggunakan bahasa Indonesia sebagai bahasa komunikasi yang efektif di tengah-tengah perubahan dan dinamika itu? Jika kita melihat kenyataan di lapangan, secara jujur harus diakui, bahasa Indonesia belum difungsikan secara baik dan benar. Para penuturnya masih dihinggapi sikap inferior (rendah diri) sehingga merasa lebih modern, terhormat, dan terpelajar jika dalam peristiwa tutur sehari-hari, baik dalam ragam lisan maupun tulis, menyelipkan setumpuk istilah asing, padahal sudah ada padanannya dalam bahasa Indonesia. Akan tetapi, beberapa kaidah yang telah dikodifikasi dengan susah-payah tampaknya belum banyak mendapatkan perhatian masyarakat luas. Akibatnya bisa ditebak, pemakaian bahasa Indonesia bermutu rendah: kalimatnya rancu dan kacau, kosakatanya payah, dan secara semantik sulit dipahami maknanya. Anjuran untuk menggunakan bahasa Indonesia dengan baik dan benar seolah-olah hanya bersifat sloganistis, tanpa tindakan nyata dari penuturnya (Sawali Tuhusetya, 2007). Melihat persoalan di atas, tidak ada kata lain, kecuali menegaskan kembali pentingnya pemakaian bahasa Indonesia dengan kaidah yang baik dan benar. Hal ini dapat dimulai dari diri sendiri juga perlu didukung oleh pembelajaran bahasa Indonesia di sekolah.
Pembelajaran bahasa Indonesia tidak lepas dari belajar membaca, menulis, menyimak, berbicara, dan kemampuan bersastra. Aktivitas membaca merupakan awal dari setiap pembelajaran bahasa. Dengan membaca, siswa dilatih mengingat, memahami isi bacaan, meneliti kata-kata istilah dan memaknainya. Selain itu, siswa juga akan menemukan informasi yang belum diketahuinya. Dari hasil membaca, siswa dilatih berbicara, bercerita dan mampu mengungkapkan pendapat juga membuat kesimpulan. Dengan menulis, siswa dapat merefleksikan hasil bacaan dan pengamatannya. Dengan menyimak, siswa dapat mengkomparasikan pengetahuannya dengan berbagai hal yang disimak. Dengan berbicara, siswa dapat mengaktualisasikan pengetahuannya dalam bentuk komunikasi dengan orang lain. Dengan kemampuan bersastra, siswa dapat menampilkan nilai estetis dari bahasa, baik lisan maupun tulisan. Untuk menopang semua itu, guru bahasa Indonesia harus dapat memotivasi siswa agar rajin membaca, termasuk membaca surat kabar.
Dengan membaca surat kabar, mereka mampu beropini, baik di kelas pada waktu belajar atau melalui majalah dinding (mading) yang ada di sekolahnya. Selanjutnya, siswa pun mampu beropini melalui media cetak. Saat ini media yang khusus untuk bacaan pelajar memang masih sangat sedikit, karena surat kabar terlalu didominasi media cetak hiburan. Dengan membaca surat kabar setiap hari, ilmu pengetahuan siswa akan bertambah. Tanpa disadari sebenarnya mereka juga sedang belajar bahasa Indonesia. Setelah gemar membaca, siswa juga perlu dimotivasi untuk hobi menulis, menyimak, berkomunikasi dan bersastra. Guru akan merasa bangga kalau memiliki siswa yang berani mengungkapkan pendapat dengan bahasa yang santun dan logis.
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Peranan Bahasa Indonesia terhadap Perkembangan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi
         Bahasa merupakan alat komunikasi antara yang satu dengan yang lain. Dengan bahasa semua hal dapat dimengerti maksud dan tujuan tertentu. Selain itu bahasa juga digunakan untuk menyampaikan sesuatu hal, gagasan (pendapat), ide kepada orang lain agar bisa memahami apa yang kita inginkan. Menurut Sunaryo (2000 : 6), tanpa adanya bahasa (termasuk bahasa Indonesia) IPTEK tidak dapat tumbuh dan berkembang. Selain itu bahasa Indonesia di dalam struktur budaya, ternyata memiliki kedudukan, fungsi, dan peran ganda, yaitu sebagai akar dan produk budaya yang sekaligus berfungsi sebagai sarana berpikir dan sarana pendukung pertumbuhan dan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Tanpa peran bahasa serupa itu, ilmu pengetahuan dan teknologi tidak akan dapat berkembang. Implikasinya di dalam pengembangan daya nalar, menjadikan bahasa sebagai prasarana berpikir modern. Oleh karena itu, jika cermat dalam menggunakan bahasa, kita akan cermat pula dalam berpikir karena bahasa merupakan cermin dari daya nalar (pikiran).
         Bahasa Indonesia memiliki dua kedudukan yaitu sebagai bahasa nasional dan sebagai bahasa negara sesuai dengan Undang-Undang Dasar 1945. Selain itu bahasa Indonesia juga mempunyai empat fungsi sebagai berikut :

1. Sebagai lambang kebangsaan negara;
2. Lambang identitas negara;
3. Alat penghubung antarwarga, antardaerah, antarbudaya;
4. Alat yang menyatukan berbagai suku bangsa dengan latar belakang sosial budaya yang berbeda.
       
 Bahasa Indonesia juga digunakan sebagai alat pengembangan kebudayaan nasional, ilmu pengetahuan dan teknologi. Bahasa Indonesia merupakan alat yang digunakan sebagai bahasa media massa untuk menunjang perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Bahasa Indonesia yang benar adalah bahasa yang menerapkan kaidah dengan konsisten. Sedangkan bahasa yang baik adalah bahasa yang mempunyai nilai rasa yang tepat dan sesuai dengan situasi pemakaiannnya. Penggunaan bahasa Indonesia yang baik dan benar akan menghasilkan pemikiran yang baik dan benar pula. Kenyataan bahwa bahasa Indonesia sebagai wujud identitas bahasa Indonesia menjadi sarana komunikasi di dalam masyarakat modern. Bahasa Indonesia bersikap terbuka sehingga mampu mengembangkan dan menjalankan fungsinya sebagai sarana komunikasi masyarakat modern.
         Semakin berkembangnya teknologi di dalam kehidupan kita akan berdampak juga pada perkembangan dan pertumbuhan bahasa sebagai sarana pendukung pertumbuhan dan perkembangan budaya, ilmu pengetahuan dan teknologi. Di dalam era globalisasi itu, bangsa Indonesia harus ikut berperan di dalam dunia persaingan bebas, baik di bidang politik, ekonomi, maupun komunikasi. Konsep-konsep dan istilah baru di dalam pertumbuhan dan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi (IPTEK) secara tidak langsung memperkaya khasanah bahasa Indonesia. Dengan demikian, semua produk budaya akan tumbuh dan berkembang pula sesuai dengan pertumbuhan dan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi itu, termasuk bahasa Indonesia, sekaligus berperan sebagai prasarana berpikir dan sarana pendukung pertumbuhan dan perkembangan IPTEK itu.
Dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang cepat dapat membuat pergeseran pada bahasa Indonesia. Apalagi biasanya teknologi informasi (TI) banyak yang menggunakan bahasa Inggris sebagai pengantar pemrograman. Dalam penerapannya teknologi informasi jarang yang menggunakan bahasa Indonesia sebagai bahasa komunikasi. Ini menyebabkan peralihan dari bahasa Indonesia sebagai bahasa negara menjadi bahasa Inggris yang merupakan bahasa Internasional. Dilihat dari realitas ini menyebabkan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi membawa dampak yang positif dan negatif.
2.2  Bahasa Indonesia dalam ilmu pengetahuan dan teknologi
Bahasa Indonesia berfungsi sebagai bahasa pendukung ilmu pengetahuan dan teknologi modern untuk kepentingan nasional kita. Bahasa adalah kunci untuk membuka khasanah pengetahuan. Dalam buku ilmu pengetahuan terdapat ilmu pengetahuan dan teknologi dari berbagai disiplin ilmu. Dengan bahasalah, kita dapat menguasai ilmu tersebut.        Seperti kita ketahui bahwa ilmu pengetahuan di Indonesia masih tertinggal jika dibandingkan dengan di negara-negara maju seperti Negara-negara di Eropa dan Amerika. Perkembangan bahasa Inggris seimbang dengan ilmu pengetahuannya. Hal tersebut karena buku-buku yang dipergunakan untuk memperkenalkan ilmu pengetahuan dan teknologi berbahasa Inggris. Keadaan tersebut tidak sebaik pada bahasa Indonesia. Bahasa Indonesia selalu ketinggalan, perkembangannya tak selaju perkembangan budaya bangsanya. Oleh sebab itu, walaupun bahasa Indonesia sudah berperan sebagai alat persatuan tetapi belum dapat berperan sebagai pengantar ilmu pengetahuan.
Upaya apa yang harus kita lakukan untuk menjawab tantangan tersebut. Pertama kita harus membiasakan sikap ilmiah dengan cara melengkapi buku-buku ilmiah sebagai salah satu syarat. Menurut Halim (dalam Bakry, 1981:179) kesalahan tersebut bukan karena ketidakmampuan bahasa Indonesia sebagai pengantar ilmu pengetahuan, tetapi karena kekurangan bahasa Indonesia dalam hal peristilahan ilmu pengetahuan dan teknologi. Sekarang ini Pusat Bahasa masih memberlakukan upaya untuk menciptakan istilah-istilah baru untuk bidang ilmu pengetahuan dan teknologi.
Usaha lain yang harus dilakukan untuk mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi adalah dengan cara harus menerjemahkan semua buku ilmu pengetahuan di dunia ini ke dalam bahasa Indonesia. Dengan adanya informasi ilmiah pengetahuan yang berarti meningkatkan mutu bahasa Indonesia sebagai bahasa Ilmiah.
Derasnya arus globalisasi di dalam kehidupan kita akan berdampak pula pada perkembangan dan pertumbuhan bahasa sebagai sarana pendukung pertumbuhan dan perkembangan budaya, ilmu pengetahuan dan teknologi. Di dalam era globalisasi itu, bangsa Indonesia mau tidak mau harus ikut berperan di dalam dunia persaingan bebas, baik di bidang politik, ekonomi, maupun komunikasi. Konsep-konsep dan istilah baru di dalam pertumbuhan dan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek) secara tidak langsung memperkaya khasanah bahasa Indonesia. Dengan demikian, semua produk budaya akan tumbuh dan berkembang pula sesuai dengan pertumbuhan dan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi itu, termasuk bahasa Indonesia, yang dalam itu, sekaligus berperan sebagai prasarana berpikir dan sarana pendukung pertumbuhan dan perkembangan iptek itu (Sunaryo, 1993, 1995).
Hasil pendayagunaan daya nalar itu sangat bergantung pada ragam bahasa yang digunakan. Pembiasaan penggunaan bahasa Indonesia yang baik dan benar akan menghasilkan buah pemikiran yang baik dan benar pula. Kenyataan bahwa bahasa Indonesia sebagai wujud identitas bahasa Indonesia menjadi sarana komunikasi di dalam masyarakat modern. Bahasa Indonesia bersikap luwes sehingga mampu menjalankan fungsinya sebagai sarana komunikasi masyarakat modern. Jadi bahasa indonesia merupakan salah satu aspek yang penting dalam kehidupan bermasyarakat, bahasa indonesia lah yang menyatukan bangsa indonesia yang beragama suku dan budaya.


2. 3 Bahasa Indonesia sebagai Sarana Pengembangan IPTEK
            Ditinjau dari segi usia, bahasa Indonesia merupakan bahasa yang masih muda. Bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional baru pada tahun 1928 yang ditandai dengan lahirnya Sumpah Pemuda pada tanggal 28 Oktober 1928. sejak itu pula nama Indonesia dipakai sebagai nama tersebut, yang sebelumnya dikenal dengan bahasa Melayu. Setelah Indonesia merdeka, bahasa Indonesia itu dijadikan bahasa negara, seperti dapat dibaca pada Undang-Undang Dasar 1945, pasal 36. ini berarti bahwa, sebagai bahasa negara bahasa Indonesia baru lahir pada tahun 1945, bersamaan dengan disahkannya Undang-Undang Dasar 1945.
            Suatu kenyataan bahwa ilmu pengetahuan dan teknologi di negara kita ini, sedang mengalami perkembangan yang sangat pesat. Kepesatan perkembangannya, perlu diimbangi oleh bahasa yang mampu mewadahinya serta yang mampu meneruskan ilmu pengetahuan dan teknologi ini, baik secara horisontal (kepada generasi yang sama), maupun secara vertikal (kepada generasi yang akan datang).
             Untuk itu, pada perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, untuk bahan pembahasan seyogyanya ditulis dengan gaya karya ilmiah, atau ilmiah populer. Penyajian karya ilmiah populer tidak memerlukan skemata atau pengetahuan yang rumit tentang segala sesuatu yang dibahas. Ilmu pengetahuan dan teknologi dapat disajikan dengan bahasa yang jelas, dengan mempergunakan istilah yang lazim digunakan dalam masyarakat umum. Nadanya informatif, diselingin banyak humor agar menarik bagi pembaca.
            Orang awam biasanya tidak tertarik kepada istilah yang terlalu khusus dan terdengar aneh. Mareka ingin sesuatu yang biasa-biasa saja, yang sudah ada di dalam masyarakat. Apabila di dalam masyarakat ada istilah yang dapat dipergunakan untuk merujuk pada suatu konsep tentang pengetahuan dan teknologi, maka hendaklah istilah itu dipakai. Apabila tidak ada istilah yang sesuai dengan konsep itu, maka hendaklah mengambil istilah yang sudah ada, yang maknanya hampir sama atau mendekati istilah yang dimaksud.
            Penggunaan istilah baru sebagai pengganti istilah asing, memang seyogyanya mendapatkan perhatian khusus dari para penulis karangan ilmiah. Namun pengembangan penggunaan selanjutnya sangat bergantung kepada keberanian istilah baru itu dalam masyarakat. Kata canggih misalnya, kini sudah memasyarakat dengan baik. Salah satu alasannya mungkin karena kata sophisticated yang semula dipergunakan sebelum kata ”canggih” dilakukan, belum begitu banyak dipergunakan oleh penulis ilmu pengetahuan dan teknologi.
            Kata-kata politik, sukses, dan stop, misalnya sudah merupakan kata serapan yang sangat mapan. Namun kata baru yang berasal dari kata-kata tersebut tidak semuanya mendapat penerimaan yang sama di kalangan masyarakat. Kata menyetop sudah lazim digunakan secara umum, demikian juga kata memolitikkan. Namun kata menyukseskan masih bersaing dengan kata mensukseskan tanpa ada tanda-tanda yang mana yang akan tersingkir, seperti hanya dengan kata mempolitikkan.
            Begitu pula dengan kecendrungan sementara orang untuk menggunakan istilah-istilah yang kurang cocok untuk karangan ilmiah, seperti penggunaan akhiran –an, untuk kata apa, dan cepat juga dapat dihilangkan. Dalam bahasan Indonesia, untuk bidang ilmu pengetahuan dan teknologi, telah tumbuh peristilahan, ungkapan dan semantik. Menciptakan istilah mengharuskan penghayatan ilmu yang bersangkutan dan pemahaman bahasa yang secukupnya. Di sini kita temukan perpaduan antara cara cipta dan cita rasa. Ada banyak istilah yang kita ciptakan hanya dengan membubuhkan awalan dan akhiran. Kata larut misalnya, dapat kita turunkan menjadi melarut, larutan, pelarut, pelarutan, dan kelarutan. Kita pun dapat menggali dari khasanah bahasa Indonesia. Sebagai contoh, kita sudah lama tidak mempunyai istilah untuk padanan kata steady flow, tetapi kita sekarang dapat mengindonesiakannya menjadi aliran lunak. Penggunaan dari bahasa Inggris to sense kini banyak yang dihubungkan dengan teknologi mutakhir, yaitu cara merekam permukaan bumi dari setelit. Untuk itu, kini kita gunakan mengindera dan selain itu dapat pula kita turunkan seperangkat kata, seperti pengeinderaan, penginderaan jauh, teknik pengeinderaan dan pengindera.
             Bentuk lain, penuturan bahasan Indonesia sebagai bahasa IPTEK, yang merupakan padanan dari bahasa asing, misalnya kata engineering dapat dipadankan dengan kata rekayasa. Dari kata rekayasa dapat diciptakan kata perekayasaan, merekayasa, teknik merekayasa, rekayasa genetika, dan sebagainya. Belakangan ini ada anggapan dari kebanyakan orang, bahwa bahasa Indonesia tidak dapat diringkas. berdasarkan penelitian dan pengamatan yang dilakukan oleh Purwo Hadijojo, yang difokuskan pada perbandingan judul karya ilmiah dalam bahasa Inggris Ground Water for Irrigation dalam bahasa Indonesia dapat diterjemahkan dengan jumlah kata yang relatif sama, yaitu air tanah untuk irigasi, ada juga judul karya ilmiah dari bahasa Inggris yang diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia yang lebih pendek, yaitu The Economic Value of Ground Water dalam bahasa Indonesia Nilai Ekonomi Air Tanah. Namun demikian, ada juga yang diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia yang lebih panjang Modern well Design dalam bahasa Indonesia Perencanaan sumur Bor Masa Kini. Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan, bahwa bahasa Indonesia memiliki kemampuan yang sama dengan bahasa lainnya dalam memasyarakatkan IPTEK. 

BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Tanpa adanya bahasa (termasuk bahasa Indonesia) IPTEK tidak dapat tumbuh dan berkembang. Selain itu bahasa Indonesia di dalam struktur budaya, ternyata memiliki kedudukan, fungsi, dan peran ganda, yaitu sebagai akar dan produk budaya yang sekaligus berfungsi sebagai sarana berpikir dan sarana pendukung pertumbuhan dan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Tanpa peran bahasa serupa itu, ilmu pengetahuan dan teknologi tidak akan dapat berkembang. Implikasinya di dalam pengembangan daya nalar, menjadikan bahasa sebagai prasarana berpikir modern. Oleh karena itu, jika cermat dalam menggunakan bahasa, kita akan cermat pula dalam berpikir karena bahasa merupakan cermin dari daya nalar (pikiran).














DAFTAR PUSTAKA
Andriawan, Krispratomo. 2010. Peran Bahasa Indonesia dalam IPTEK. (online). Tersedia : http://criz-scania.blogspot.com/2010/11/bahasa-indonesia-dalam-ilmu-pengetahuan.html
(02 Maret 2012)
Indriana, Dewi Nur. 2010. Peranan Bahasa Indonesia dalam Pengembangan ilmu Pengetahuan dan Teknologi. (online). Tersedia : http://ghembiel09.blogspot.com/2010/11/peranan-bahasa-indonesia-dalam.html     (02 Maret 2012)
Meriyanti S., Ezra. 2010. Bahasa Indonesia dan Peranannya dalam IPTEK. (online). Tersedia : http://ezrameriyanti88.blogspot.com/2010/11/bahasa-indonesia-dan-peranannya-dalam.html (02 Maret 2012)
Rouf, Abd. 2011. Eksistensi Bahasa Indonesia di Era Global. (online). Tersedia : http://www.mtsppiu.sch.id/bahasa-indonesia/eksistensi-bahasa-indonesia-era-global (02 Maret 2012)
Zaman, Saefu. 2012. Pentingnya Bahasa Indonesia Bagi Persatuan Bangsa Indonesia. (online). Tersedia : http://www.situsbahasa.info/2012/01/pentingnya-bahasa-indonesia-bagi.html  (02 Maret 2012)

Jumat, 30 Maret 2012

MODEL PRAKTEK KEPERAWATAN PROFESIONAL (MPKP)


MODEL PRAKTEK KEPERAWATAN PROFESIONAL (MPKP)
A.    PENGERTIAN
Model praktik keperawatan adalah diskripsi atau gambaran dari praktik keperawatan yang nyata dan akurat berdasarkan kepada filosofi, konsep dan teori keperawatan.Era globalisasi dan perkembangan ilmu dan teknologi kesehatan menuntut perawat, sebagai suatu profesi, memberi pelayanan kesehatan yang optimal. Indonesia juga berupaya mengembangkan model praktik keperawatan profesional (MPKP).
TUJUAN MODEL KEPERAWATAN
1.Menjaga konsistensi asuhan keperawatan
2.Mengurangi konflik, tumpang tindih dan kekosongan pelaksanaan asuhan keperawatan oleh tim keperawata.
3.Menciptakan kemandirian dalam memberikan asuhan keperawatan.
4.Memberikan pedoman dalam menentukan kebijaksanaan dan keputusan.
5.Menjelaskan dengan tegas ruang lingkup dan tujuan asuhan keperawatan bagi setiap anggota tim keperawatan.
Ada lima komponen MPKP :
1.      Nilai professional
2.      Pendekatan manajemen
3.      Metode pemberian asuhan keperawatan
4.      Hubungan professional
5.      System penghargaan dan kompensasi
B.     MACAM METODE PENUGASAN DALAM KEPERAWATAN
Dalam pelaksanaan praktek keperawatan, akan selalu menggunakan salah satu metode pendekatan di bawah ini :
1. Metode fungsional.
Yaitu pengorganisasian tugas pelayanan keperawatan yang didasarkan kepada pembagian tugas menurut jenis pekerjaan yang dilakukan. Metode ini dibagi menjadi beberapa bagian dan tenaga ditugaskan pada bagian tersebut secara umum, sebagai berikut :
a. Kepala Ruangan, tugasnya :
Merencanakan pekeriaan, menentukan kebutuhan perawatan pasein, membuat penugasan, melakulan supervisi, menerima instruksi dokter.
b. Perawat staf, tugasnya :
- Melakukan askep langsung pada pasien
- Membantu supervisi askep yang diberikan oleh pembantu tenaga keperawatan
c. Perawat Pelaksana, tugasnya :
Melaksanakan askep langsung pada pasien dengan askep sedang, pasein dalam masa pemulihan kesehatan dan pasein dengan penyakit kronik dan membantu tindakan sederhana (ADL).
d. Pembantu Perawat, tugasnya :
Membantu pasien dengan melaksanakan perawatan mandiri untuk mandi, menbenahi tempat tidur, dan membagikan alat tenun bersih.
e. Tenaga Admionistrasi ruangan, tugasnya :
Menjawab telpon, menyampaikan pesan, memberi informasi, mengerjakan pekerjaan administrasi ruangan, mencatat pasien masuk dan pulang, membuat duplikat rostertena ruangan, membuat permintaan lab untuk obat-obatan/persediaan yang diperlukan atas instruksi kepala ruangan.
·         Kerugian metode fungsional:
- Pasien mendapat banyak perawat.
- Kebutuhan pasien secara individu sering terabaikan
- Pelayanan pasien secara individu sering terabaikan.
- Pelayanan terputus-putus
-          Kepuasan kerja keseluruhan sulit dicapai
Kelebihan dari metode fungsional :
- Sederhana
- Efisien.
Perawat terampil untuk tugas atau pekerjaan tertentu.
Mudah memperoleh kepuasan kerja bagi perawat setelah selesai tugas.
Kekurangan tenaga ahli dapat diganti dengan tenaga yang kurang berpengalaman untuk satu tugas yang sederhana.
Memudahkan kepala ruangan untuk mengawasi staff atau peserta didik yang praktek untuk ketrampilan tertentu.
v  Contoh metode fungsional
-Perawat A tugas menyutik, perawat B tugasnya mengukur suhu badan klien.
Seorang perawat dapat melakukan dua jenis tugas atau lebih untuk semua klien yang ada di unit tersebut. Kepala ruangan bertanggung jawab dalam pembagian tugas tersebut dan menerima laporan tentang semua klien serta menjawab semua pertanyaan tentang klien
2. Metode penugasan pasien/metode kasus
Yaitu pengorganisasian pelayanan atau asuhan keperawatan untuk satu atau beberapa klien oleh satu orang perawat pada saat bertugas atau jaga selama periode waktu tertentu sampai klien pulang. Kepala ruangan bertanggung jawab dalam pembagian tugas dan menerima semua laporan tentang pelayanan keperawatan klien. Dalam metode ini staf perawat ditugaskan oleh kepala ruangan untuk memberi asuhan langsung kepada pasien yang ditugaskan contohnya di ruang isolasi dan ICU.
Kekurangan metode kasus :
- Kemampuan tenga perawat pelaksana dan siswa perawat yang terbatas sehingga tidak mampu memberikan asuhan secara menyeluruh
- Membutuhkan banyak tenaga.
- Beban kerja tinggi terutama jika jumlah klien banyak sehingga tugas rutin yang sederhana terlewatkan.
- Pendelegasian perawatan klien hanya sebagian selama perawat penaggung jawab klien bertugas.
Kelebihan metode kasus:
- Kebutuhan pasien terpenuhi.
- Pasien merasa puas.
- Masalah pasien dapat dipahami oleh perawat.
- Kepuasan tugas secara keseluruhan dapat dicapai.
3. Metode penugasan tim
Yaitu pengorganisasian pelayanan keperawatan oleh sekelompok perawat. Kelompok ini dipimpin oleh perawat yang berijazah dan berpengalaman serta memiliki pengetahuan dalam bidangnya.
Pembagian tugas di dalam kelompok dilakukan oleh pemimpin kelompok, selain itu pemimpin kelompok bertanggung jawab dalam mengarahkan anggota tim.sebelum tugas dan menerima laporan kemajuan pelayanan keperawatan klien serta membantu anggota tim dalam menyelesaikan tugas apabila mengalami kesulitan. Selanjutnya pemimpin tim yang melaporkan kepada kepala ruangan tentang kemajuan pelayanan atau asuhan keperawatan klien.
Metode ini menggunkan tim yang terdiri dari anggota yang berbeda-beda dalam memberikan askep terhadap sekelompok pasien.
Ketenagaan dari tim ini terdiri dari :
- Ketua tim
- Pelakaana perawatan
- Pembantu perawatan
Adapun tujuan dari perawatan tim adalah : memberikan asuhan yang lebih baik dengan menggunakan tenaga yang tersedia.
Kelebihan metode tim:
- Saling memberi pengalaman antar sesama tim.
- Pasien dilayani secara komfrehesif
- Terciptanya kaderisasi kepemimpinan
- Tercipta kerja sama yang baik .
- Memberi kepuasan anggota tim dalam hubungan interpersonal
- Memungkinkan menyatukan anggota tim yang berbeda-beda dengan aman dan efektif.
Kekurangan metode tim:
-Tim yang satu tidak mengetahui mengenai pasien yang bukan menjadi tanggung jawabnya.
- Rapat tim memerlukan waktu sehingga pada situasi sibuk rapat tim ditiadakan atau trburu-buru sehingga dapat mengakibatkan kimunikasi dan koordinasi antar anggota tim terganggu sehingga kelanncaran tugas terhambat.
-Perawat yang belum terampil dan belum berpengalaman selalu tergantung atau berlindung kepada anggota tim yang mampu atau ketua tim.
- Akontabilitas dalam tim kabur.
4. Metode Perawatan Primer
Yaitu pemberian askep yang ditandai dengan keterikatan kuat dan terus menerus antara pasien dan perawat yang ditugaskan untuk merencanakan, melakukan dan mengkoordinasikan askep selama pasien dirawat.
Tugas perawat primer adalah :
- Menerima pasien
- Mengkaji kebutuhan
- Membuat tujuan, rencana, pelaksanaan dan evaluasi.
- Mengkoordinasi pelayanan
- Menerima dan menyesuaikan rencana
- menyiapkan penyuluhan pulang
Konsep dasar :
1. Ada tanggung jawab dan tanggung gugat
2. Ada otonomi
3. Ada keterlibatan pasien dan keluarganya
Ketenagaan :
1. Setiap perawat primer adalah perawat bed. side.
2. Beban kasus pasien maksimal 6 pasien untuk 1 perawat
3. Penugasan ditentukan oleh kepala bangsal.
4. Perawat profesional sebagai primer d.an perawat non profesional sebagai asisten.
Kepala bangsal :
1. Sebagai konsultan dan pengendali mtu perawat primer
2. Orientasi dan merencanaka karyawan baru.
3. Menyusun jadwal dinas
4. Memberi penugasan pada perawat asisten.
Kelebihan dari metode perawat primer:
- Mendorong kemandirian perawat.
- Ada keterikatan pasien dan perawat selama dirawat
- Berkomunikasi langsung dengan Dokter
- Perawatan adalah perawatan komfrehensif
- Model praktek keperawatan profesional dapat dilakukan atau diterapkan.
- Memberikan kepuasan kerja bagi perawat
- Memberikan kepuasan bagi klien dan keluarga menerima asuhan keperawatan.
Kelemahan dari metode perawat primer:
- Perlu kualitas dan
- kuantitas tenaga perawat,
- Hanya dapat dilakukan oleh perawat profesional.
- Biaya relatif lebih tinggi dibandingkan metode lain.
5. Metode Modul (Distrik)
Yaitu metode gabungan antara Metode penugasan tim dengan Metode perawatan primer. Metode ini menugaskan sekelompok perawat merawat pasien dari datang sampai pulang.
Keuntungan dan Kerugian
Sama dengan gabungan antara metode tim dan metode perawat primer.
Semua metode diatas dapat digunakan sesuai dengan situasi dan kondisi ruangan. Jumlah staf yang ada harus berimbang sesuai dengan yang telah dibahas pembicaraan yang sebelumnya.


C.    KELEBIHAN DAN KEKURANGAN DARI  MODEL PRAKTIK KEPERAWATAN PROFESIONAL
Kelebihan model praktek keperawatan professional :
a. Memungkinkan pelayanan keperawatan yang menyeluruh. 
b. Mendukung pelaksanaan proses keperawatan.
c. Memungkinkan komunikasi antar tim sehingga konflik mudah diatasi dan    
    memberikankepuasan pada anggota tim
d. bila diimplementasikan di RS dapat meningkatkan mutu asuhan keperawatan
e. ruang MPKP merupakan lahan praktek yang baik untuk proses belajar
f. ruang rawat MPKP sangat menunjang program pendidikan Nursing
Kekurangan model praktek keperawatan professional :
a. Komunikasi antar anggota tim terutama dalam bentuk konferensi tim, membutuhkan waktu   
   dimana sulit melaksanakannya pada waktu-waktu sibuk.
b. Akuntabilitas pada tim.Konsep
c. beban kerja tinggi
d. pendelegasian tugas terbatas
e. kelanjutan keperawatan klien hanya sebagian selama perawat penanggung jawab klien tugas

D.    KARATERISTIK MPKP
1.      Penetapan jumlah tenaga keperawatan
2.      Penetapan jenis tenaga keperawatan
3.      Penetapan standar rencana asuhan keperawatan
4.      Penggunaan metode modifikasi keperawatan primer


E.     LANGKAH-LANGKAH IMPLEMENTASI MPKP
Tahap persiapan :
1.      Pembentukan team
Terdiri dari coordinator departemen, kepala ruang rawat, perawat ruangan, ketua MPKP
2.      Rancangan penilaian mutu
Kelompok kerja yang membuat rencana asuhan keperawatan yang meliputi kepuasan klien.
3.      Presentasi MPKP
Untuk mendapatkan nilai dukungan dari semua yang terlibat pada saat presentasi.
4.      Penetapan tempat implementasi
Dalam menentukan tempat implementasi perlu memperhatikan : mayoritas tenaga perawat apakah ada staf baru.
5.      Identifikasi jumlah klien
Kelompok klien terdiri dari 3 kriteria, yaitu : minimal, parsial, dan total)
6.      Penetapan tenaga keperawatan
7.      Penetapan jenis tenaga
a.      kepala ruang rawat
b.      clinical care manager
c.       perawat primer
d.      perawat asociate
8.      Pengembangan standar asuhan keperawatan
Bertujuan untuk mengurangi waktu perawat untuk menulis, sehingga waktunya habis untuk melakukan tindakan keperawatan
9.      Penetapan format dokumentasi keperawatan
10.  Identifikasi fasilitas
a.       Badge atau kartu  nama tim
b.      Papan nama
c.       Papan MPKP
Tahap pelaksanaan :
1.      Pelatihan MPKP
2.      Memberikan bimbingan kepada PP dalam melakukan konferensi
3.      Memberi bimbingan kepada PP dalam melakukan ronde PA
4.      Memberi bimbingan kepada PP dalam memanfaatkan standar Renpra
5.      Member bimbingan kepada PP dalam membuat kontrak dengan klien
6.      Member bimbingan dalam melakukan presentasi dalam tim
7.      Memberikan bimbingan kepada CCM dalam bimbingan PP dan PA
8.      Memberi bimbingan tentang dokumentasi keperawatan

Tahap evaluasi :
1.      Memberikan instrument evaluasi kepuasan klien / keluarga untuk setiap klien pulang
2.      Mengevaluasi kepatuhan perawat terhadap standar penilaian
3.      Penilaian infeksi nasokominal di ruang rawat
4.      Penilaian rata-rata lama hari rawat





Kamis, 29 Maret 2012

PENYAKIT PURU/PATEK/FRAMBOSIA



PENYAKIT PURU ATAU PATEK
A.    Latar Belakang
Ada dua penyakit kulit yang perlu diwaspadai karena sering diabaikan yaitu Kusta dan Frambusia. Kusta dan frambusia merupakan penyakit kulit menular dan menahun yang mudah disembuhkan apabila ditemukan secara dini. Bila ditemukan sedini mungkin dan diobati dengan baik maka dapat mencegah penderita dari kecacatan tetap dan sembuh dalam waktu 6 bulan. Oleh karena itu, peran serta masyarakat sangat penting dalam menemukan penderita dan melaporkan ke Puskesmas untuk dilakukan pemeriksaan dan pengobatan.
Didunia, pada awal tahun 1950-an diperkirakan banyak kasus frambusia terjadi di Afrika, Asia, Amerika Selatan dan Tengah serta Kepulauan Pasifik, sebanyak 25 – 150 juta penderita. Setelah WHO memprakarsai kampanye pemberantasan frambusia dalam kurun waktu tahun 1954 – 1963, para peneliti menemukan terjadinya penurunan yang drastik dari jumlah penderita penyakit ini. Namun kemudian kasus frambusia kembali muncul akibat kurangnya fasilitas kesehatan public serta pengobatan yang tidak adekuat. Dewasa ini, diperkirakan sebanyak 100 juta anak-anak beresiko terkena frambusia.
Masih adakah frambusia di Indonesia? Jawabannya masih ada, tersebar di daerah kantong-kantong kemiskinan. Pada tahun 1990, 21 provinsi dari 31 provinsi di Indonesia melaporkan adanya penderita frambusia. Ini tidak berarti bahwa provinsi yang tidak melaporkan adanya frambusia di wilayah mereka tidak ada frambusia, hal ini sangat tergantung pada kualitas kegiatan surveilans frambusia di provinsi tersebut.
Pada tahun 1997 hanya enam provinsi yang melaporkan adanya frambusia dan pada saat krisis di tahun 1998 dan 1999 tidak ada laporan sama sekali dari semua provinsi. Tahun 2000 sampai dengan tahun 2004, 8-11 provinsi setiap tahun melaporkan adanya frambusia. Pemerintah pada Pelita III (pertengahan pemerintahan Orde Baru) menetapkan bahwa frambusia sudah harus dapat dieliminasi dengan sistem TCPS (Treponematosis Control Project Simplified) dan “Crash Program Pemberantasan Penyakit Frambusia (CP3F)”. Namun, oleh karena metode, organisasi, manajemen pemberantasan yang kurang tepat dan pembiayaan yang kurang atau daerah tersebut selama ini tidak tersentuh oleh pemerataan pembangunan. Paling tepat kalau dikatakan bahwa masih adanya frambusia di suatu wilayah sebagai resultan dari upaya pemberantasan yang kurang memadai dan tidak tersentuhnya daerah tersebut dengan pembangunan sarana dan prasarana wilayah

B.     Sejarah Frambusia/Puru/Patek
Frambusia merupakan penyakit infeksi kulit yang disebabkan oleh Treptonema pallidum ssp.pertenue yang memiliki 3 stadium dalam proses manifestasi ulkus seperti ulkus atau granuloma (mother yaw), lesi non-destruktif yang dini dan destruktif atau adanya infeksi lanjut pada kulit, tulang dan perios. Penyakit ini adalah penyakit kulit menular yang dapat berpindah dari orang sakit frambusia kepada orang sehat dengan luka terbuka atau cedera/ trauma (Greenwood, 1994).
Penyakit Frambusia (yaws) pertama kali ditemukan oleh Castellani, pada tahun 1905 yang berasal dari bakteri besar (spirocheta) bentuk spiral dan motil dari famili (spirochaetaceae) dari ordo spirochaetales yang terdiri dari 3 genus yang phatogen pada manusia (treponema, borelia dan leptospira). Spirohaeta mempunyai ciri yang sama dengan pallidum yaitu panjang, langsing”helically coiled”, bentuk spiral seperti pembuka botol dan basil gram negatif. Treponema memiliki kulit luar yang disebut glikosaminoglikan, di dalam kulit memiliki peptidoglikan yang berperan mempertahankan integritas struktur organisme (Jawetz, et al, 2005).
Genus treponema terdiri dari Treponema pallidum subspesies pallidum yang menyebabkan sifilis, Treponema pallidum subspecies perteneu yang menyebabkan frambusia (yaws/puru/pian), treponema pallidum subspecies endemicum yang menyebabkan sifilis (disebut bejel) dan treponema carateum yang menyebabkan pinta (Jawetz, et al, 2005; Greenwood, et al 1994; Noordhoek, et al, 1990).
C.    Definisi dan Penyebab Penyakit Puru atau Patek

Framboesia atau Patek ( kamus kedokteran ). Penyakit framboesia atau patek adalah suatu penyakit kronis, relaps (berulang). Dalam bahasa Inggris disebut Yaws, ada juga yang menyebut Frambesia tropica dan dalam bahasa Jawa disebut Pathek. Di zaman dulu penyakit ini amat populer karena penderitanya sangat mudah ditemukan di kalangan penduduk. Di Jawa saking populernya telah masuk dalam khasanah bahasa Jawa dengan istilah “ora Patheken”. Yaws, Frambosia, Patek adalah penyakit langka karena infeksi pada daerah tropis yang biasanya menyerang daerah kulit, tulang dan sendi manusia yang disebabkan oleh bakteri spirochete Treponema pallidum pertenue. Penyakit lain yang disebabkan oleh Treponemal yaitu: bejel (Treponema pallidum endemicum), pinta (Treponema pallidum carateum), dan sifilis (Treponema pallidum pallidum). Patek dapat ditemukan di daerah tropis lembab basah seperti di Amerika Selatan, Afrika, Asia dan Oseania. Kampanye pengobatan massal pada tahun 1950 di seluruh dunia mengurangi prevalensi dari 50-100 juta penderita menjadi kurang dari 2 juta, namun selama tahun 1970-an terjadi wabah di Asia Tenggara dan telah ada kasus-kasus sporadis berlanjut di Amerika Selatan. Tidak jelas berapa banyak orang di seluruh dunia terinfeksi saat ini.
Yawswww.AstroDigi.com






1.1  Infeksi Yaws tahap awal
Penyakit ini ditularkan melalui kontak kulit-ke-kulit, dengan infeksi lesi (luka) bakteri masuk ke tubuh melalui iritasi (yang sudah ada seblumnya) pada kulit, gigitan dan cakaran. Dalam waktu sembilan puluh hari (tetapi biasanya kurang dari satu bulan) dari infeksi yang tidak menyakitkan tapi khas, ‘ibu yaws’ muncul. Ini  merupakan nodul (bintil) menyakitkan yang membesar dan kemudian menjadi berkutil.  Kadang-kadang, anakannya (bintil) pun bermunculan secara bersamaan.
Tahap utama ini terjadi dalam waktu enam bulan. Tahap kedua terjadi dalam hitungan bulan sampai bertahun-tahun kemudian, dan ditandai dengan munculnya lesi-lesi di kulit yang meluas areanya di tubuh manusia, termasuk ‘kepiting patek’ di telapak tangan dan kaki dengan desquamation (pengelupasan lapisan luar kulit). Lesi sekunder ini sering memborok. Dan kemudian menjadi sangat berinfeksi, tapi sembuh setelah enam bulan kemudian atau lebih. Sekitar sepuluh persen orang kemudian terus mengembangkan penyakit tersier dalam lima sampai sepuluh tahun (sebelum lesi tersier, lesi sekunder dapat datang dan pergi). Lesi tersier dicirikan oleh kerusakan yang luas pada tulang, sendi-sendi dan jaringan lunak, yang dapat meliputi penghancuran luas  pada tulang dan tulang rawan hidung (rhinopharyngitis mutilans atau ‘gangosa’).
D.    Cara Penularan Penyakit Puru atau Patek
Penularan penyakit frambusia dapat terjadi secara langsung maupun tidak langsung (Depkes,2005), yaitu :
1)      Penularan secara langsung (direct contact)
            Penularan penyakit frambusia banyak terjadi secara langsung dari penderita ke orang lain. Hal ini dapat terjadi jika jejas dengan gejala menular (mengandung Treponema pertenue) yang terdapat pada kulit seorang penderita bersentuhan dengan kulit orang lain yang ada lukanya. Penularan mungkin juga terjadi dalam persentuhan antara jejas dengan gejala menular dengan selaput lendir.

2) Penularan secara tidak langsung (indirect contact)
 .          Penularan secara tidak langsung mungkin dapat terjadi dengan perantaraan benda atau serangga, tetapi hal ini sangat jarang. Dalam persentuhan antara jejas dengan gejala menular dengan kulit (selaput lendir) yang luka, Treponema pertenue yang terdapat pada jejas itu masuk ke dalam kulit melalui luka tersebut. Terjadinya infeksi yang diakibatkan oleh masuknya Treponema partenue dapat mengalami 2 kemungkinan:
a) Infeksi effective.
Infeksi ini terjadi jika Treponema pertenue yang masuk ke dalam kulit berkembang biak, menyebar di dalam tubuh dan menimbulkan gejala-gejala penyakit. Infeksi effective dapat terjadi jika Treponema pertenue yang masuk ke dalam kulit cukup virulen dan cukup banyaknya dan orang yang mendapat infeksi tidak kebal terhadap penyakit frambusia.
b) Infeksi ineffective.
 Infeksi ini terjadi jika Treponema pertenue yang masuk ke dalam kulit tidak dapat berkembang biak dan kemudian mati tanpa dapat menimbulkan gejala-gejala penyakit. Infeksi effective dapat terjadi jika Treponema pertenue yang masuk ke dalam kulit tidak cukup virulen dan tidak cukup banyaknya dan orang yang mendapat infeksi mempunyai kekebalan terhadap penyakit frambusia (Depkes, 2005). Penularan penyakit frambusia pada umumnya terjadi secara langsung sedangkan penularan secara tidak langsung sangat jarang terjadi (FKUI, 1988)
E.     Epidomiologi
Frambusia terutama menyerang anak-anak yang tinggal di daerah tropis di pedesaan yang panas, lembab, ditemukan pada anak-anak umur antara 2–15 tahun lebih sering pada laki-laki. Prevalensi frambusia secara global menurun drastis setelah dilakukan kampanye pengobatan dengan penisilin secara masal pada tahun 1950-an dan 1960-an sehingga menekan peningkatan kasus frambusia, namun kasus frambusia mulai ditemukan lagi di sebagian besar daerah khatulistiwa Afrika Barat dengan penyebaran infeksi tetap berfokus di daerah Amerika Latin, Kepulauan Karibia, India dan Thailand Asia Tenggara dan Kepulauan Pasifik Selatan, Papua New Guinea, kasus frambusia selalu berubah sesuai dengan perubahan iklim. Di daerah endemik frambusia prevalensi infeksi meningkat selama musim hujan. Menurut WHO (2006) bahwa kasus frambusia di Indonesia pada tahun 1949 meliputi NAD, Jambi, Bengkulu, Sumatera Selatan, Jawa (Jawa Timur) dan sebagian besar Wilayah Timur Indonesia yang meliputi Nusa Tenggara, Sulawesi, Maluku dan Papua.
Penurunan prevalensi Frambusia secara bermakna terjadi pada tahun 1985 sampai pada tahun 1995 dengan prevalensi rate frambusia turun secara dramatis dari 22,1 (2210 per 10.000 penduduk) menjadi kurang dari 1 per 10.000 penduduk di daerah kabupaten dan propinsi, strategi pencapaian target secara nasional Departemen Kesehatan yaitu jumlah frambusia kurang dari 0,1 kasus per 100.000 penduduk di Wilayah Jawa dan Sumatera, lebih dari 1 kasus per 100.000 penduduk di Wilayah Indonesia Timur (Papua, Maluku, NTT dan Sulawesi). Untuk menjangkau daerah-daerah kantong frambusia yang jumlahnya tersebar di beberapa Propinsi dan beberapa Kabupaten di Indonesia maka dilakukan survey daerah kantong frambusia yang dimulai tahun 2000. Propinsi yang masih mempunyai banyak kantong frambusia diprioritaskan untuk dilakukan sero survei, yaitu NAD, Jambi, Jawa Timur, Banten, Sulawesi Tenggara dan NTT. Hal ini di pengaruhi oleh 3 faktor yang penting, yaitu faktor host (manusia), agent (vector) dan environtment (lingkungan) termasuk di dalam faktor host yaitu pengetahuan, sikap dan perilaku perorangan. (Depkes, 2004).
1.      Agent
Penyebab penyakit frambusia adalahTreponema pallidum, subspesies pertenue dari spirochaeta. Framboesia berdasarkan karakteristik Agen :
a.       Infektivitas dibuktikan dengan kemampuan sang Agen untuk berkembang biak di dalam jaringan penjamu.
b.      Patogenesitas dibuktikan dengan perubahan fisik tubuh yaitu terbentuknya benjolan-benjolan kecil di kulit yang tidak sakit dengan permukaan basah tanpa nanah.
c.       Virulensi penyakit ini bisa bersifat kronik apabila tidak diobati, dan akan menyerang dan merusak kulit, otot serta persendian sehingga menjadi cacat seumur hidup. Pada 10% kasus frambusia, tanda-tanda stadium lanjut ditandai dengan lesi yang merusak susunan kulit yang juga mengenai otot dan persendian.
d.      Toksisitas yaitu dibuktikan dengan kemampuan Agen untuk merusak jaringan kulit dalam tubuh penjamu.
e.       Invasitas dibuktikan dengan dapat menularnya penyakit antara penjamu yang satu dengan yang lainnya.
f.       Antigenisitas yaitu sebelum menimbulkan gejala awal Agen mampu merusak antibody yang ada di dalam sang penjamu.
2.      Host
Manusia dan mungkin Primata kelas tinggi. Sangat berpeluang tertular penyakit ini. Ditemukan pada anak-anak umur antara 2–15 tahun lebih sering pada laki-laki.

F.     Pathogenesis
Noordhoek, et al, (1990) mengatakan bahwa terdapat infeksi alamiah yang disebabkan oleh Treponema pallidum terhadap inang (manusia) ditularkan melalui hubungan seksual dan infeksi lesi langsung pada kulit atau membran selaput lendir pada genetalia. Pada 10–20 kasus lesi primer merupakan intrarektal, perianal atau oral atau di seluruh anggota tubuh dan dapat menembus membran selaput lendir atau masuk melalui jaringan epidermis yang rusak. 
Spirocheta secara lokal berkembang biak pada daerah pintu masuk dan beberapa menyebar di dekat nodul getah bening mungkin mencapai aliran darah. Dua hingga 10 minggu setelah infeksi, papul berkembang di daerah infeksi dan memecah belah membentuk ulcer yang bersih dan keras (chancre). Inflamasi ditandai dengan limfosit dan plasma sel yang membuat ruang berupa maculapapular merah di seluruh tubuh, termasuk tangan, kaki dan papul yang lembab, pucat (condylomas) di daerah anogenital, axila dan mulut. (Djuanda, et al., 2007)
Lesi primer dan sekunder ini sangat infeksius karena mengandung banyak spirocheta. Lesi yang infeksius mungkin akan kambuh dalam waktu 3–5 tahun. Infeksi sifilis tetap subklinis dan pasien akan melewati tahap primer dan sekunder tanpa gejala atau tanda-tanda berkembangnya lesi tersier. Pada pasien dengan infeksi laten penyakit akan berkembang ketahap tersier ditandai dengan perkembangan lesi granulommatous (gummas) pada kulit, tulang dan hati; lesi cardiovaskuler (aortitis, aortic aneurysm, aortic value insuffiency). lesi tertier treponema jarang ditemua dan respon jaringan yang meningkat ditandai dengan adanya hypersensitivitas organisme. Treponema yang menahum dan atau laten terkadang infeksi dimata atau sistem saraf pusat (Noordhoek, et al, 1990; Bahmer, et al, 1990)
Pada subspecies perteneu infeksi terjadi akibat adanya kontak berulang antar individu dalam waktu tertentu sehingga memudahkan treponema untuk berkembang biak, infeksi bakteri treponema ssp.parteneu berbentuk spirochetes tersebut ada dijaringan epidermis mudah menular di jaringan kulit lecet atau trauma terbuka. Klasifikasi Frambusia terdiri dari 4 (empat) tahap meliputi pertama (primary stage) berbentuk bekas untuk berkembangnya bakteri frambusia; secondary stage terjadi lesi infeksi bakteri treponema pada kulit; latent stage bakteri relaps atau gejala hampir tidak ada; tertiary stage luka dijaringan kulit sampai tulang kelihatan, (Smith, 2006 ; Greenwood, et al, 1994 ; Bahmer, et al 1990 ; Jawetz, et al., 2005). 
G.    Gejala Klinis
Penyakit fambusia tidak menyerang jantung, pembuluh darah, otak dan saraf dan tidak ada frambusia kongenital, namun daerah endemis pada musim hujan penderita baru akan bertambah. Gejala klinis terdiri atas 3 stadium pertama pada tungkai bawah sebagai tempat yang mudah trauma; masa tunas berkisar antara 3-6 minggu. Kelainan papul yang eritematosa, menjadi besar berupa ulkus dengan dasar papilomatosa. Jaringan granulasi banyak mengeluarkan serum bercampur darah yang mengandung treponema. Serum mengering menjadi krusta berwarna kuning-kehijauan, pembesaran kelenjar limfe regional konsistensi keras dan tidak nyeri. Stadium satu dapat menetap beberapa bulan kemudian sembuh sendiri dengan meninggalkan sikatriks yang cekung dan atrofik. Stadium kedua; dapat timbul setelah stadium pertama sembuh atau sering terjadi tumpang tindih antara stadium satu dan stadium dua (overlapping). (Djuanda, et al., 2007).
Erupsi yang generalisata timbul pada 3 – 12 bulan setelah penyakit berlangsung. Kelainannya berkelompok, tempat predileksi di sekeliling lubang badan, muka dan lipatan-lipatan tubuh. Papul-papul yang milliar menjadi lentikular dapat tersusun korimbiform, arsinar atau numular. Kelainan ini membasah, berkrusta dan banyak mengandung treponema. Pada telapak kaki dapat terjadi keratoderma jalannya seperti kepiting karena nyeri tulang ekstremitas atas dan bawah, spina ventosa pada jari anak-anak, polidaktilitis, sinar rontgen tampak rarefaction pada korteks dan destruksi pada perios, (Jawetz, et al., 2005).
Pada stadium lanjut sifatnya destruktif menyerang kulit, tulang dan persendian meliputi nodus dan guma, keratoderma pada telapak kaki dan tangan, gangosa dan goundou; menurut Djuanda, et al., (2007) pada fase lanjut ini beberapa istilah pada frambusia stadium lanjut : nodus dapat melunak, pecah menjadi ulkus, dapat sembuh di tengah luka dan meluas ke perifer; guma umumnya terdapat pada tungkai. Mulai dengan nodus yang tidak nyeri, keras, dapat digerakan, kemudian melunak, memecah dan meninggalkan ulkus yang curam (punched out), dapat mendalam sampai ke tulang atau sendi mengakibatkan ankilosis dan deformitas; gangosa: mutilasi pada fosa nasalis, palatum mole hingga membentuk sebuah lubang suaranya khas sengau; goundou : eksositosis tulang hidung dan di sekitarnya, pada sebelah kanan–kiri batang hidung yang membesar; bisa disertai demam; tulang : berupa periostitis dan osteitis pada tibia, ulna, metatarsal dan metakarpal, tibia berbentuk seperti pedang, kiste di tulang mengakibatkan fraktur spontan.
H.     Pemeriksaan Diagnostik
Menurut Noordhoek, et al, (1990) diagnosa dapat ditegakkan dengan pemeriksaan mikroskop lapangan gelap atau pemeriksaan mikroskopik langsung FA (Flourescent Antibody) dari eksudat yang berasal dari lesi primer atau sekunder. Test serologis nontrepanomal untuk sifilis misalnya VDRL (venereal disease research laboratory), RPR (rapid plasma reagin) reaktif pada stadium awal penyakit menjadi non reaktif setelah beberapa tahun kemudian, walaupun tanpa terapi yang spesifik, dalam beberapa kasus penyakit ini memberikan hasil yang terus reaktif pada titer rendah seumur hidup. Test serologis trepanomal, misalnya FTA-ABS (fluorescent trepanomal antibody – absorbed), MHA-TP (microhemag-glutination assay for antibody to t. pallidum) biasanya tetap reaktif seumur hidup
I.       Pengobatan
Menurut Departemen Kesehatan RI, (2004) dan (2007) bahwa pilihan pengobatan utama adalah benzatin penicilin dengan dosis yang sama, alternatif pengobatan dapat dilakukan dengan pemberian tetrasiklin, doxicicline dan eritromisin. Anjuran pengobatan secara epidemiologi untuk frambusia adalah sebagai berikut : 
1)                             Bila sero positif >50% atau prevalensi penderita di suatu desa/ dusun >5% maka seluruh penduduk diberikan pengobatan.
2)                             Bila sero positif 10%-50% atau prevalensi penderita di suatu desa 2%-5% maka penderita, kontak, dan seluruh usia 15 tahun atau kurang diberikan pengobatan
3)                             Bila sero positif kurang 10% atau prevalensi penderita di suatu desa/ dusun < 2% maka penderita, kontak serumah dan kontak erat diberikan pengobatan 4) Untuk anak sekolah setiap penemuan kasus dilakukan pengobatan seluruh murid dalam kelas yang sama. Dosis dan cara pengobatan sbb: Tabel 1. Dosis dan cara pengobatan frambusia Pilihan utama Umur Nama obat Dosis Pemberian Lama pemberian < 10 thn Benz.penisilin 600.000 IU IM Dosis Tunggal ≥ 10 tahun Benz.penisilin 1.200.000 IU IM Dosis Tunggal Alternatif < 8 tahun Eritromisin 30mg/kgBB bagi 4 dosis Oral 15 hari 8-15 tahun Tetra atau erit. 250mg,4x1 hri Oral 15 hari >8 tahun Doxiciclin 2-5mg/kgBB bagi 4 dosis Oral 15 hari
Dewasa 100mg 2x1 hari Oral 15 hari
Keterangan : Tetrasiklin atau eritromisin diberikan kepada penderita frambusia yang alergi terhadap penicillin. Tetrasiklin tidak diberikan kepada ibu hamil, ibu menyusui atau anak dibawah umur 8 tahun
(Sumber: Pedoman Eradikasi Frambusia, Departemen Kesehatan RI, Dirjen Pengendalian dan Penyehatan Lingkungan, 2007).

J.      Pencegahan
Walaupun penyebab infeksi sulit dibedakan dengan teknik yang ada pada saat ini. Begitu pula perbedaan gejala-gejala klinis dari penyakit tersebut sulit ditemukan. Dengan demikian membedakan penyakit treponematosisi satu sama lainnya hanya didasarkan pada gambaran epidemiologis dan faktor linkungan saja. Hal-hal yang diuraikan pada butir-butir berikut ini dapat dipergunakan untuk manangani penyakit frambusia dan penyakit golongan treponematosis non venereal lainnya.

a)      Pencegahan tingkat pertama (Primary Prevention)
Sasaran pencegahan tingkat pertama dapat ditujukan pada factor penyebab, lingkungan serta factor penjamu.

1)      Sasaran yang ditujukan pada faktor penyebab yang bertujuan untuk mengurangi penyebab atau menurunkan pengaruh penyebab serendah mungkin dengan usaha antara lain : desinfeksi, pasteurisasi, sterilisasi, yang bertujuan untuk menghilangkan mikro-organisme penyebab penyakit, penyemprotan/insektisida dalam rangka menurunkan dan menghilangkan sumebr penularan maupun memutuskan rantai penularan, disamping karantina dan isolasi yang juga dalam rangka memutuskan rantai penularan. Selain itu usaha untuk mengurangi atau menghilangkan sumber penularan dapat dilakukan melalui pengobatan penderita serta pemusnahan sumber yang ada, serta mengurangi atau menghindari perilaku yang dapat meningkatkan resiko perorangan dan masyarakat.

2)      Mengatasi atau modifikasi lingkungan melalui perbaikan lingkungan fisik seperti peningkatan air bersih, sanitasi lingkungan dan perumahan serta bentuk pemukiman lainnya, perbaikan dan peningkatan lingkungan biologis seperti pemberantasan serangga dan binatang pengerat, serta peningkatan lingkungan sosial seperti kepadatan rumah tangga, hubungan antar individu dan kehidupan sosial masayarakat.

3)      Meningkatkan daya tahan pejamu yang meliputi perbaikan status gizi, status kesehatan umum dan kualitas hidup penduduk, pemberian imunisasi serta berbagai bentuk pencegahan khusus lainnya, peningkatan status psikologis, persiapan perkawinan serta usaha menghindari pengaruh factor keturunan, dan peningkatan ketahanan fisik melalui peningkatan kualitas gizi, serta olahraga kesehatan.

b)      Pencegahan tingkat kedua (Secondary Prevention)
Sasaran pencegahan ini terutama ditujukan kepada mereka yang menderita atau dianggap menderita (suspect) atau yang terancam akan menderita (masa tunas). Adapun tujuan usaha pencegahan tingkat kedua ini yang meliputi diagnosis dini dan pengobatan yang tepat agar dapat dicegah meluasnya penyakit atau untuk mencegah timbulnya wabah, serta untuk segera mencegah proses penyakit untuk lebih lanjut serta mencegah terjadinya akibat samping atau komplikasi.

1)      Pencarian penderita secara dini dan aktif melalui peningkatan usaha surveillance penyakit tertentu, pemeriksaan berjala serta pemeriksaan kelompok tertentu ( calon pegawai, ABRI, Mahasiswa, dan lain sebagainya), penyaringan (screening) untuk penyakit tertentu secara umum dalam masyarakat, serta pengobatan dan perawatan yang efektif.

2)      Pemberian chemoprophylaxis yang terutama bagi mereka yang dicurigai berada pada proses prepatogenesis Framboesia.

c)       Pencegahan tingkat ketiga (Tertiary Prevention)
Sasaran pencegahan tingkat ketiga adalah penderita penyakit Framboesia dengan tujuan mencegah jangan sampai cacat atau kelainan permanen, mencegah bertambah parahnya penyakit tersebut atau mencegah kematian akibat penyakit tersebut. Berbagai usaha dalam mencegah proses penyakit lebih lanjut agar jangan terjadi komplikasi dan lain sebagainya.
Pada tingkat ini juga dilakukan usaha rehabilitasi untuk mencegah terjadinya akibat samping dari penyembuhan penyakit Framboesia. Rehabilitasi adalah usaha pengembalian funsi fisik, psikologis, sosial seoptimal mungkin yang meliputi rehabilitasi fisik atau medis, rehabilitasi mental atau psikologis serta rehabilitasi sosial.

K.    Pengawasan Penderita, Kontak dan Lingkungan Masyarakat (tahap Patogenesis).
1.  Laporan kepada instansi kesehatan yang berwenang: Di daerah endemis tertentu dibeberapa negara tidak sebagai penyakit yang harus dilaporkan, kelas 3B (lihat laporan tentang penularan penyakit) membedakan treponematosis venereal & non venereal dengan memberikan laporan yang tepat untuk setiap jenis, adalah hal yang penting untuk dilakukkan dalam upaya evaluasi terhadap kampanye pemberantasan di masyarakat dan penting untuk konsolidasi penanggulangan pada periode selanjutnya.
2.  Isolasi: Tidak perlu; hindari kontak dengan luka dan hindari kontaminasi lingkungan sampai luka sembuh.
3. Disinfeksi serentak: bersihkan barang-barang yang terkontaminasi dengan discharge dan buanglah discharge sesuai dengan prosedur.
3. Karantina: Tidak perlu.
4. Imunisasi terhadap kontak: Tidak perlu.
5. Investigasi terhadap kontak dan sumber infeksi: Seluruh orang yang kontak dengan penderita harus diberikan pengobatan, bagi yang tidak memperlihatkan gejala aktif diperlakukan sebagai penderita laten. Pada daerah dengan prevalensi rendah, obati semua penderita dengan gejala aktif dan semua anak-anak serta setiap orang yang kontak dengan sumber infeksi.
6. Pengobatan spesifik: Penisilin, untuk penderita 10 tahun ke atas dengan gejala aktif dan terhadap kontak, diberikan injeksi dosis tunggal benzathine penicillin G (Bicillin) 1,2 juta unit IM; 0,6 juta unit untuk penderita usia dibawah 10 tahun.

Upaya Penanggulan Wabah (Tahap Pasca Patogenesis)

Dengan melakukan program pengobatan aktif untuk masyarakat di daerah dengan prevalensi tinggi. Tujuan utama dari program ini adalah:

a)      Pemeriksaan terhadap sebagian besar penduduk dengan survei lapangan.
b)      Pengobatan terhadap kasus aktif yang diperluas pada keluarga dan kelompok  
         masyarakat sekitarnya berdasarkan bukti adanya prevalensi frambusia aktif.
c)      Melakukan survei berkala dengan tenggang waktu antara 1 – 3 tahun sebagai bagian   
         integral dari pelayanan kesehatan masyarakat pedesaan disuatu negara.

Implikasi bencana: Tidak pernah terjadi penularan pada situasi bencana tetapi potensi
ini tetap ada pada kelompok pengungsi didaerah endemis tanpa fasilitas sanitasi yang
memadai.

Tindakan Internasional:
Untuk melindungi suatu negara dari risiko timbulnya
reinfeksi yang sedang melakukan program pengobatan massal aktif untuk masyarakat,
maka negara tetangga di dekat daerah endemis harus melakukan penelitian untuk
menemukan cara penanganan yang cocok untuk penyakit frambusia. Terhadap
penderita yang pindah melewati perbatasan negara, perlu dilakukan pengawasan manfaatkan pusat kerjasama WHO.

L.     Program Pemberantasan

Strategi Pemberantasan framboesia terdiri dari 4 hal pokok yaitu:
1.              Skrining terhadap anak sekolah dan masyarakat usia di bawah 15 tahun untuk menemukan
penderita.
2.       Memberikan pengobatan yang akurat kepada penderita di unit pelayanan kesehatan (UPK)  
          dan dilakukan pencarian kontak.
3.       Penyuluhan kepada masyarakat tentang perilaku hidup bersih dan sehat (PHBS).
4.       Perbaikan kebersihan perorangan melalui penyediaan sarana dan prasarana air bersih serta
          penyediaan sabun untuk mandi.
5.       Pengobatan framboesia dilakukan dengan memberikan antibiotika. Antibiotika golongan
          penicillin merupakan obat pilihan pertama. Bila penderita alergi terhadap penicillin, dapat  
          diberikan antibiotika tetrasiklin, eritromisin atau doksisiklin

















DAFTAR PUSTAKA
Kipas, Pisang. 2010. Yaws, Frambosia, patek.  2010. Tersedia : (http://pisangkipas.wordpress.com/2010/03/21/yaws-frambosia-patek/) (17 Maret 2012)
Solution, Heroes. 2010. Penyakit Frambusia/Patek/Yaws. Tersedia : (http://herodessolutiontheogeu.blogspot.com/2010/11/penyakit-frambusia-patek-yaws.html) (17 Maret 2011)
Syahreza, Lissa. 2011. Frambosia. Tersedia : (http://lissasyahreza.blogspot.com/2011/03/frambusia-latar-belakang-ada-dua.html) (17 Maret 2012)